Gadis Penggembala




Setiap kali aku datang ke kamarnya, belum sempat kuganti seragamku. Dia lebih dulu memanggilku.”Sil! Sisil! Terno nang sumur Sil!” Suara serak itu merajuk mencariku. Kata paman dan bibi-bibiku yang lain, aku adalah cucu kesayangannya. 

Anaknya  berlima beserta enam cucu. Apabila berkumpul, lengkaplah sudah keluarga besar Sutikno. Dan itu hanya terjadi di hari Raya Idul Fitri. Anak bungsunya seorang gadis idiot, telah meninggal 10 tahun lalu di kursi roda ketika usianya menginjak 16 tahun. Anak keempat belum juga dikaruniai momongan di usia pernikahannya yang ke 16 tahun. Dan akulah anak sulung dari anak lelakinya yang ketiga. Mungkin karena hobiku memasak bubur sum-sum. Rupa-rupanya telah menjadikan kedekatan batin antara Mbokku dan aku di antara kelima cucu-cucunya yang lain. Mbokku sangat menyukai bubur sum-sum dengan kuah gula merah yang disiram di tengah-tengahnya. 

Dalem Mbok.” Aku pun menjawab panggilannya. Aku langsung memapah tubuh kering Mbokku keluar kamar. Kuletakkan tas ranselku di atas meja tv. Sudah seperti biasa, sesampai di pinggiran sumur kududukan ia di kursi kayu, langsung kulepas kebayanya. Kumandikan Mbokku seperti aku memadikan bayiku sendiri. Tiga sampai lima guyur sudah cukup untuk membasahi kulitnya yang makin kisut terkeriputi masa. Sabun Harmoni kugosokkan lembut ke seluruh tubuh Mbokku. Aromanya menyeruakkan buah anggur, menimbun bau apek tubuh Mbokku yang sudah udzur. “Rambut sampean tak kuncir ya Mbok! Nanti tak pupuri ben sampean ayu lorok-lorok.” Hal yang paling aku suka adalah mendandani Mbokku setelah mandi. Kubayangkan saat aku bermain boneka barbie. Kusisir rambutnya yang tinggal 1/8 bagian dan kukuncir tinggi-tinggi karena aku terinspirasi pada film Jinny Oh Jinny, yang sedang tenar-tenarnya waktu itu. Lalu pipi, kening, dan leher lembab yang lemaknya telah mengendur itu kuusap tebal-tebal dengan bedak bayi. Harum, sekarang Mbokku sudah harum. “Nek angon wedus ojo adoh-adoh nganti kedung penampung kali yo Nduk..bahaya panggone. Trus ojo sampek wedosmu mangani tandurane wong-wong tani nang sawah.” Begitu pesan Mbokku setelah aku selesai mendandaninya dan mendudukkannya di kursi teras depan rumah. Pekerjaan rutin yang dilakukan orang yang sudah udzur  umur pun udzur kesehatan adalah duduk santai di kursi goyang, jika tak punya kursi goyang seperti Mbokku ya dengan kursi plastik. Kupandang matanya sedang menatap ke masa depan yang mengerikan dan masa lalu yang beragam memberi kenangan. Kenangan  tentang kesalahan, tentang pengorbanan, dan tentang cinta yang telah  terukir bersama orang-orang terkasih selama hidup. 

Ketika Mbokku sudah menyinggung tentang kambing, artinya aku disuruhnya segera pulang ke rumah untuk menunaikan kewajibanku sebagai gadis penggembala. Mbokku selalu mewanti-wanti agar aku berhati-hati saat mengembalakan kambingkku. Tempat-tempat yang rawan bahaya adalah bendungan kali di desaku yang terkenal kedalamannya hingga 1.500 meter. Juga sawah petani yang telah dipasang perangkap racun ataupun semprotan insektisida untuk tanamannya yang hijau menggoda mata kambing-kambingku itu. Aku harus waspada jika tak ingin kambing-kambingku mati keracunan atau tenggelam di kali saat mereka asyik merumput.

Beberapa kali Mbokku telah masuk rumah sakit karena penyakit diabetes. Bahkan sekarang sudah menjadi komplikasi. Kadang-kadang berganti-gantian dengan kakekku yang juga keluar masuk ruang operasi. Juga karena komplikasi. Kami keluarga besar Sutikno berganti-gantian merawat dua orang tua  itu. Dengan teratur empat anak Sutikno yang kini telah berumah tangga, datang menengok. Seringkali ibuku menyuruh aku kadang juga adikku untuk mengantarkan ketela rebus atau labu rebus kesukaannnya, kadang bubur sum-sum bikinanku sendiri. 

Jika sepulang sekolah tak singgah ke rumah keluarga besar Sutikno aku biasa pulang terlebih dulu ke rumah keluarga kecilku. Jarak rumahku dengan rumah keluarga besar Sutikno tidaklah terlampau jauh. Hanya berkisar 250 meter, sehingga aku sering menempuhnya dengan berjalan kaki. Sambil menuntun seutas tali tampar yang ujungnya berakhir pada leher dua ekor kambing yang sedang hamil tua.

Dulu hanya sepasang anak kambing yang kupunya. Itu pun pemberian kakekku. Suami Mbokku itu adalah penggembala kambing yang tekun. Hingga puluhan jumlah kambingnya beranak pinak. Namun sekarang raib karena habis terjual untuk biaya berobat dan sebagian sudah dibagikan kepada anak-anaknya sebagai hibah atau warisan, pun aku tak mengerti. Binatang itu sudah dua tahun diberikan pada keluargaku sebelum puluhan kambingnya raib. Kubesarkan sejak aku duduk di bangku SMP hingga beranak pinak dan dijual untuk kebutuhan sekolahku dan adikku. 

Alangkah sukar dan tidak enak jadi gadis penggembala kambing. Di saat teman sebayaku sibuk dengan penampilan dan merek motor pacar barunya, aku masih bercengkrama dengan kedua kambingku di sawah dan kebun-kebun tebu tepi kali sampai larut Maghrib. Terkadang aku pulang dengan menenteng sekarung rumput atau kayu bakar sisa batang-batang tebu. Aku mencarinya bersama ibu-ibu pencari kayu bakar di sana. Aku merasa sangat eman jika waktuku terbuang sia-sia hanya kuhabiskan untuk menunggu kambing-kambing yang gethol merumput. Maka aku sering meninggalkan mereka dengan mengikatkan talinya  di pangkal batang tebu. Lalu aku mengikuti ibu-ibu yang mencari kayu bakar dari sisa-sisa pembakaran tebu, kayu bonggol jagung, atau kayu pohon kelorak yang tumbuh di pinggiran kali. Kadang bersama anak-anak lelaki desaku mencari ikan atau kejeng sejenis kerang sungai di sepanjang kali saat airnya surut selutut.  

Hal yang tidak mengenakkan jika aku berpapasan dengan teman sekolahku di jalan. Aku takut menjadi bahan  ledekan dan cemoohan di sekolah. Namun aku cukup berbahagia karena selama ini belum ada teman sekolahku yang mengetahui pekerjaanku, kecuali Andre tetanggaku yang juga satu sekolah denganku. Entah bagaimana pandangannya tentang gadis sepertiku menurutnya. Aku tak peduli terhadapnya karena kami tak berteman akrab. Toh rerimbunan semak dan deretan pohon tebu dapat kujadian tempat sembunyi jika aku melihat teman sekolahku kebetulan lewat. 

Ibuku seorang ibu rumah tangga yang kini telah bekerja serabutan di tempat-tempat konveksi. Sekaligus ia menjualkan hasil jahitannya sendiri, door to door keliling rumah-rumah penduduk. Tidak mudah seorang wanita mendapat izin bekerja dari suaminya. Aku merasa turut gembira saat ibuku dapat membeli sebuah helm bekas dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. 

Hingga tiba suatu hari aku merasakan kejanggalan dan keanehan terjadi pada keluarga kecilku. Ibu tidak lagi menolongku jika aku pulang terlalu larut malam. Bahkan aku disuruhnya mengembala sampai tempat-tempat yang jauh hingga ke desa tetangga. Ketika pulang sekolah pun tak ada makanan kudapatkan tersaji di meja makan. Maklum aku tahu ibuku belum pulang dari kerja. Biasanya dua atau tiga jam lagi ia pasti pulang. Kalau tidak ada bahan-bahan yang bisa kumasak biasanya aku langsung pergi ke sawah sambil menggembalakan kambing-kambing kesayanganku. Harapan akan kelahiran anak-anak kambing dua bulan lagi telah menghapus rasa lelah dan laparku yang kubawa dari sekolah. Terbayang akan semakin banyak kambingku nanti sebagai tabungan biaya sekolah. Dan aku semakin semangat memanjakan mereka ke tempat-tempat di mana rumput segar tumbuh. 

Duniaku menjadi dewasa karena dengan pekerjaanku itu aku tahu jerih payah kehidupan. Kutahu rasanya gagal panen petani di sawah, kutahu rasanya ibu-ibu pencari kayu bakar dan pencari ikan yang berjuang di kali demi tetap mengepulkan asap dapur. Hal-hal itu menjadikan aku lupa akan perseteruan adu bantah antara ibu dan bapakku yang sekarang kerap terjadi tiap-tiap malam. Berita buruk tentang keluarga kecilku telah menambah runyam kesehatan Mbokku. Ibuku didesas-desuskan punya simpanan. Bapakku didesas-desuskan seorang tempramen yang selalu bertindak kasar pada istrinya. Atas desas-desus bapakku itu aku pun pernah menyaksikan ibuku yang kecewa saat bapakku menendang kukusan di atas tungku, karena tak sabar menanti masaknya nasi yang ditanak ibuku. Ibuku lagi-lagi disalahkan tidak becus sebagai istri. Uang belanja pun sudah tak rutin lagi ia berikan. Sehingga ini berdampak pula pada uang sakuku dan uang saku adikku. 

Hal yang membuat kupingku panas ketika gugatan-gugatan perceraian terdengar dari luar kamarku ketika malam tiba. Amat mengecawakan dan menjadi bahan pikiranku ketika prestasiku di sekolah pun turun drastis sampai peringkat bawah. Aku yang biasanya menduduki posisi-posisi penting menjadi bahan perbincangan teman-temanku karena mereka prihatin atas turunnya semangat belajarku. 

Mbokku pun meninggal saat aku ada dan menunggui di sampingnya, saat mendekati hari-hari yang makin merunyamkan pikiranku. Tiga hari itu ia baru pulang dari rumah sakit. Tepat ketika surat perceraian sudah tertandatangani antara ibu dan bapakku. Dadaku semakin sesak. Antara marah, kecewa, dan kehilangan semua harapan. Panas rasanya pelupuk mataku tiap-tiap hari semenjak runtutan kejadian-kejadian itu. 

Aku pun ditambah tidak mengerti kenapa kakekku malah menyalahkan aku atas kepergian Mbokku. Menuduh aku dan keluarga kecilku menjadi penyebab kematiannya. Semata-mata kematian Mbokku terjadi karena ia terus memikirkan tentang diriku. Tentang kelakuan ibu dan bapakku. Hal yang membuatku merasa tak punya siapa-siapa lagi sebagai tempat berlindung. Kini aku sendiri dan benar-benar sendiri. Ibuku tak pulang. Bapakku tak pulang. Adikku pergi karena terus menangis. Ia akhirnya dirawat salah seorang saudara, yang memang lama tak dikaruniai anak. 

Malam-malamku hanya ditemani embikan suara kambing melonglong panjang. Lolongan yang mewakili sedikit dari rasa kehilanganku. Mungkin aku memang ditakdirkan menjadi gadis penggembala, pikirku. Sendirian, berteman dengan puluhan kambing di ladang savana sepi dan terbuka. 

Saat aku terbangun dari tidur beratku. Saat aku tersadar dari mimpi savanaku. Saat aku membuka kandang kayu. Di saat yang itulah kutemukan kambingku berlumuran darah di bagian pantat dan kaki belakangnya. Melahirkan dua anak kambing dan  kutangani sendiri sisa-sisanya. Tiada Bapak tiada Ibu yang mau menghapus darah amis di tanganku. Di saat tetes darah, peluh, dan air mata, yang tak  lagi dapat kubedakan. 

Oleh A.pam
Ilistrasi gambar dari internet 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masyarakat Tangguh di Tengah Pandemi

Jangan Takut Berpolitik, Politik itu Asyik

JOKO PINURBO