Sebungkus Kasihmu
Suasana ruang foto copy semakin sesak dengan antrian mahasiswa yang sedang mencetak tugas-tugas pertengahan semesternya. Sesak di ruangan itu menjalar sampai ke ubun-ubun hingga seluruh ingatan seorang gadis berkerudung biru yang sedang duduk melamun. Laptop di meja tunggu ia tatap dengan lesu. Tugas kampus yang sedang bertimbun menjadikan Ning tidak bisa menjenguk ibunya tiga bulan ini. Padahal tiga bulan lalu itu kali pertama Ning menatap mata teduh dalam wajah sosok ibu kandung. Beberapa kegiatan dan organisasi yang sengaja diikuti memang menjadi pelampiasan tersendiri buat Ning mengosongkan ruang masa lalunya yang suram. Baginya keramaian penuh sesak adalah waktu sepi yang hanya disaksikan kedipan kursor. Ning merenungkan diri. Ditampilkan kembali
masa kecilnya. Sempat ia penjarakan itu di layar laptop yang sedang ia tatap.
“Oalah Nduk,
dongane ibuk wes ben kowe dadi wong kang manfaat marang liyan. Ibune iki mbiyen kepingin sekolah duwur. Nanging kuwi mung dadi angen-angen.
Mbahmu mung biso nyekolahne ibuk
lulus SD.” Ning serasa memiliki tanggung jawab untuk mengabulkan keinginan ibunya itu. Perempuan tua yang dulu membangunkannya
tiap pagi agar tepat waktu sholatnya. Sambil mengecup lembut pipi Ning. Ibunya
selalu berucap, “Nduk ayo bangun ndang sholat!” Seringkali Ning hanya
menyeringai manja. Itu yang disesali Ning sekarang. Juga dirindukan Ning ketika
sikap keibuan itu berubah tujuh tahun
yang lalu.
Tepat tiga
bulan yang lalu Ning kembali menemukan tujuan hidupnya kembali dalam sosok yang
makin teduh. “Agar ibu bisa segera menyaksikan Ning wisuda di kampus Trunojoyo
nanti.” Ucap ibunya waktu itu.
”Hei, kalau kau pelototi terus tuh laptop. Kapan
proposal kita bakal selesai diperbaiki?” Entah siapa yang mengundang tiba-tiba
saja Nike ‒ teman kecilnya yang sekarang menjadi teman sekelasnya sudah
merebahkan diri duduk disebelah Ning yang sedang melamun.
“Sepertinya aku
harus menengok Banyuwangi Ke.”
“Kau masih mengingat-ingat kembali orang yang
membuangmu. Meninggalkanmu?” Nike berbicara ketus tanpa menghiraukan
orang-orang di ruangan itu.
“Apa maksudmu berbicara seperti itu? Lantas aku
harus terus menghindar dari takdir? Yang lalu itu sudah kucoba maafkan dengan
susah payah Ke. Kau hanya tahu aku dari cerita yang penuh dendam. Dan itu aku
yang dulu bukan sekarang.” Ning mencoba membela diri. Memang kejadian tujuh
tahun yang lalu‒saat ibunya minggat‒ayahnya minggat‒keluarganya amburadul, Nike
adalah sahabat yang menemani dukanya‒juga membuatnya melampiaskan diri di dunia
narkotika.
“Munafik! Bodoh! Dulu kau bangga-banggakan kebebasan
menjadi orang terbuang. Nikmati hidup bebas dan tak akan mengingat mereka lagi.”
Ucapan Nike yang tak tahu aturan ini membuat Ning dilirik orang-orang yang tak
mungkin lepas dengar dari suara bisikan sekalipun. Lalu ia pergi begitu saja
meninggalkan Ning yang digunjingkan beberapa mahasiswa di ruang sepetak itu.
***
Bersama gumulan awan yang diam-diam berjatuhan. Air
mata Ning beranak sungai mengalir pelan-pelan mengiringi gerimis sore itu.
Andai ayah dan ibunya tidak bercerai, dulu. Ning tentu bisa melihat mereka
berdua tersenyum bersama seperti layaknya keluarga normal lainnya.
Apakah Ning juga sudah bisa membalas semua pemberian
yang diberikan oleh sosok ibu padanya‒sosok yang tujuh tahun lalu sangat
ditentangnya‒sangat dibencinya. Sedangkan hanya untuk menemani kesepiannya di
waktu tua. Di waktu insaf, Ning tak mampu. Dari dulu Ibu Ning tidak pernah
menuntut apa pun pada Ning. Termasuk waktu canda tawanya di rumah dahulu yang
hilang. Sudah sewajarnya Ning menjalani kehidupannya dengan benar.
“Ini sudah menjadi takdir Ning, skenario Allah itu
lebih indah dari skenario manusia. Kalau mereka tidak bercerai mungkin kamu
tidak akan menjadi dewasa sekarang. Ingat, kamu sudah belajar mandiri sejak
kecil bukan?” Saat kontak terakhir dengan keluarganya, bibi Ning lah yang sempat
menghibur kekecewaan Ning. Tapi masih saja Ning sakit mengingat itu semua. Sore
ini Ning tak nafsu makan. Sudah lelah raga dan pikirannya. Mimpi kecil itu satu-satunya
yang membuatnya bertahan hingga sekarang.
Telfon genggam yang tergeletak bersama serakan
buku-buku kuliah itu tiba-tiba berdering. Terputar lagu Number one for me dari Maher
Zain. Sejuk di telinga. Ibu untuk Ning.
“Assalamualaikum, Ning ini Mbak Ririn.” Terdengar
suara dari seberang sana sambil berbisik.
“Waalaikumsalam. Mbak Rin tumben menelepon, ada apa
Mbak?”
“Ning kapan kamu pulang? Kemaren ibumu dibawa
berobat ke Solo, kanker payudaranya tambah parah.”
“Astaghfirullah…, sekarang ibu di mana Mbak?
“Ibumu sudah di rumah sekarang. Dia sendiri yang
ngotot pengen pulang. Mbak menelepon kamu ini pun sembunyi-sembunyi Ning!
Jangan boleh ada yang ngasih tahu kamu kalau ibu sakit! Itu wanti-wanti dari ibumu.” Tuuttt…tuuttt….
“Ya Allah…, tunggu Ning Bu..Ning akan segera
pulang…..” Ning berbicara sendiri dalam telepon karena teleponnya sudah terputus.
Segera sore itu juga, di tengah gerimis yang kian
deras. Ning mengambil jaket dan ransel yang lama tak disentuhnya. Selesai
mengikat tali sepatu bootnya, dia
langsung meluncur ke jalan raya. Tangannya tak sabar menghentikan angkutan umum
yang sore itu tak seramah biasanya. Angkot-angkot berlalu saja tanpa
menghiraukan Ning yang kuyu kehujanan.
Tak lama, angkot biru butut menghampirinya. Segera Ning masuk angkot
yang sudah berjubel penumpang dan barang bekas dagangan pasar itu.
“Terminal Pak!”
“Oke Neng,
siap meluncur!” Jawab sopir kali ini yang kebetulan ramah. Mungkin karena
penumpang yang didapatkannya banyak. Itu bukan jadi masalah buat Ning. Dia
harus segera sampai rumah, di Banyuwangi.
“Assalamualaikum….”
“Waalaikumsalam.”
Segera dipeluknya perempuan tua yang terbaring lemah di atas dipan itu. “Katanya ibu sempat
dibawa ke rumah sakit? Kenapa tidak bilang Bu?”
“Ibu tidak apa-apa. Bagaimana ujianmu Nduk?”
Ning terus mendekap tubuh kurus ibunya. Tak kuasa
berkata-kata lagi.
“Lihatlah kerlip bintang di luar sana! Ibuk wes
bungah hati melihat mereka jika ibu
rindu kamu Ning. Karena ibuk yakin
satu dari seribu yang terbentang itu pasti kamu. Kelak akan menjadi bintang di
masyarakat.” Ibu Ning melapangkan hati
Ning. Dia tahu bahwa anak gadisnya itu merasa bersalah, tidak bisa mendampingi
ibunya di rumah sakit.
Mulai pagi itu, Ning yang merawat ibunya. Membasuh
tubuh ibunya dengan air hangat. Menuntunnya ke kamar kecil jika ingin buang
air. Menyuapinya. Meracik ramuan tradisional dari daun-daunan dan membubuhkan
pada luka ibunya. Tidak sia-sia ilmu tentang tumbuh-tumbuhan yang
dipelajarinya. Mendampingi ibu tiap tidur dan mencium kakinya adalah ritual
yang tak pernah ditinggalkan selama di Banyuwangi. Hingga ibu Ning sudah bisa
beraktifitas seperti orang sehat pada semestinya. Sudah bisa pergi ke pasar dan
kembali berjualan nasi pecel.
Pagi-pagi Ning harus segera kembali ke Surabaya lalu
ke pulau garam Yah, itulah jarak yang
terukur antara Ning dan ibu, Madura-Banyuwangi. Padahal bagi seorang ibu tak
ada jarak untuk kasih dan sayangnya. Malam sebelum Ning kembali, Ning bangun
terkantuk-kantuk menuju dapur. Lamat-lamat mengamati ibunya yang sedang meracik
lodho ayam untuk bekalnya di perjalanan. Tak dapat diperkirakan berapa takar
resep cinta yang dia masukkan pada lodho di atas tungku itu. Disisihkan yang
terbaik dan dibungkus dengan dua lembar
daun pisang. Sangat berhati-hati sekali. Agar tidak berjatuhan nantinya jika
terdesak penumpang bus yang sudah biasa melebihi kapasitas. Pagi itu Ning
berpamitan, diciumi kedua tangannya dengan sebungkus rindu yang Ning kumpulkan.
“Ibu, kasihku padamu tak pernah bisa terungkap kata-kata.” Dan pesan malam itu
untuk ibu, Ning minta agar kitab tafsir Al-Quran yang diberikannya kemarin,
rutin dibaca. Cium mesra di pipi Ning adalah balasan dari ibu. Tak bisa Ning
membayangkan bagaimana cara dan kapan Ning impas membalas semua cintanya. Semua
pemberiannya. Semua ketulusannya. Yang mustahil sanggup Ning balas. Meksi
dendam tujuh tahun kesalahan sudah terjadi.
***
Pagi yang cerah menyapa Ning dengan agenda bulan
Maretnya. Berbagi bersama anak-anak yatim piatu bersama training ESQ. Aktifitas
kampus juga berjalan seperti sebelum dia pulang ke Banyuwangi. Di dalam kamar
kos berukuran 3x4 m itu Ning dan sahabatnya, Lili saling berbagi cerita dengan
penuh haru. Setelah kondisi ibunya pulih dua bulan yang lalu romantika hidupnya
kembali mengisi dan bermain seni dalam jiwanya. “Allah tidak akan menguji
hambanya di atas batas kemampuan yang dimiliki hambanya. Ujian itu sudah kau
selesaikan Ning. Dengan ujianlah manusia menjadi dewasa. Ning, kerjakan apa
yang bisa kau kerjakan, maka Allah akan mengerjakan apa yang tidak bisa kau
kerjakan.” Lili selalu bisa menjadi pendengar setia semua curhatan Ning. Tidak
hanya mendengar, tapi juga menyimpulkan serta memberi solusi jika Ning butuh.
Tiba-tiba di tengah keharuan, cerita kehidupan di antara keduanya terhenti.
Terdengar dering telfon Ning berbunyi dari sudut kamar.
“Ning.” Terdengar suara Mbak Ririn yang aneh.
“Iya kenapa Mbak? Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un.”
“Ada apa Ning? Siapa yang meninggal?” Sahut Lili,
mendengar keganjilan pembicaraan Ning di telepon .
“I…bu!!! Ibu meninggal Li.”
“Sabar Ning…takdir Allah yang sudah tidak bisa
ditunda dan diubah lagi memanglah kelahiran, jodoh, dan kematian.”
ilustrasi gambar dari www.hipwee.com
Komentar
Posting Komentar