Gadis-gadis yang Dirampas


Judul               : Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer
Penulis            : Pramodya Ananta Toer
Penerbit          : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun terbit    : 2001
Penyunting      : Candra Gautama
Tebal buku      : IX + 218
Harga buku     : Rp 43.000,00

“…kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang bisa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu…Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat…”

Buku ini adalah naskah yang ditulis Pramodya Ananta Toer saat statusnya masih menjadi tapol di pulau pengasingan Buru. Karya-karyanya selalu menceritakan nilai kemanusiaan berlatar pada zaman penjajahan sampai pergerakan nasional di Indonesia.  Tahun 1943-1945, ketika itu terjadi perang dunia II dan seluruh jajahan negeri barat jatuh ke balatentara Dai Nippon Jepang. Beberapa pulau di Indonesia diperintah oleh Angkatan Laut Jepang. Sumatra dan Jawa diperintah oleh Angkatan Darat Jepang. Keadaan menjadi negeri jajahan semakin membuat pribumi sengsara. Maka bermulalah penderitaan intensif 3,5 tahun; penjajahan seumur jagung namun jauh lebih kejam. Semua harta, tenaga bahkan hak untuk berbicara pun dirampas. Lalu jika kita bayangkan keadaan waktu itu, bagaimana nasib para perawan remaja pribumi pada masa perang ? Sedangkan orang tua bahkan para pejabat pribumi tidak berhak melindungi lagi.

Pemerintahan Balatentara Dai Nippon Jepang yang penuh manipulasi, menjanjikan membantu Indonesia mempersiapkan kemerdekaannya. Berjanji memberikan kesempatan belajar pada pemuda-pemudi pribumi ke Tokyo dan Shonantoa terdengar sayup-sayup angin belaka. Banyak gadis-gadis yang diberangkatkan untuk belajar namun selalu hilang tidak jelas kabarnya. Bagi para pelajar di sekolah pribumi hampir tidak ada kesempatan belajar karena dipersiapkan untuk membantu perang.
“Sumiati, salah seorang gadis yang menjadi korban, bercerita pada Sukarno  Martodihardjo bahwa dalam janji itu disebutkan: di dalam usaha mempersiapkan rakyat Indonesia ke arah kemerdekaan  nanti sesuai dengan kehendak Nippon, generasi muda Indonesia dididik supaya bisa mengabdikan diri dalam kemerdekaan.  Sumiyati mendengar janji itu pada 1944, bukan 1943. Di tempat lain  janji itu berbunyi akan memberi kesempatan belajar sebagai bidan. Di tempat lain lagi, sebagai juru rawat. Tidak mengherankan, karena yang dikehendaki adalah para perawan remaja berumur antara 13-17 tahun, sebagian besar baru lulus SD.” (hlm.10)
Keadaan hiduplah yang memaksa gadis-gadis bercita-cita luhur itu untuk percaya pada perangkap pemerintahan balatentara Dai Nippon. Orang tua yang setia mengabdi pada Jepang, tak ingin jabatannya hilang maka terpaksa mengorbankan anak-anak gadis mereka untuk menjadi teladan dari propaganda Sandenbu. Janji itu tidak disiarkan melalui harian maupun barang cetakan. Melainkan dari mulut ke mulut orang-orang yang lebih berkuasa. Pangreh praja melaksanakan perintah sandenbu. Bupati meneruskan ke camat. Camat pada lurah. Lurah pada perabot desa dan penduduk. Begitulah informasi itu menyebar. Hingga menggiring para perawan remaja untuk menjadi budak seks para serdadu Jepang. Mereka diangkut dengan kapal dan dimasukkan pada kehidupan yang menggoncangkan.
Gadis-gadis yang berhasil lolos dari cengkraman Jepang; mereka pulang dan tak pernah orang tua menanyakan bagaimana cara mereka bisa pulang. Hanya mendiamkan karena hal tersebut sudah menjadi beban moral. Sehingga sulit mencari jejak bagi keluarga lain untuk melacak keberadaan anak gadis mereka.          
Setahun memerintah dengan watak fasisme-militerisme Jepang juga berencana memusnahkan orang Indonesia yang berpendidikan SLP (Sekolah Lanjutan Pertama) di Kalimantan dan menjadikan wilayah tersebut sebagai negeri Jepang kedua. Teror-teror yang diluncurkan Jepang membuat resah para pemuda. Berita yang menggetarkan adalah pembunuhan terhadap Dokter Susilo. Konon dia adalah orang yang sangat dihormati dikalangan pelajar sebagai penemu sejenis anopheles malaria, yang dinamai dengan namanya. Apalagi dengan kejahatan perang yang dilakukan balatentara Dai Nippon terhadap gadis-gadis remaja semakin membuat resah.

Masih panjang riwayat hidup para gadis pribumi. Mereka dibuang namun harus tetap menjalani sisa-sisa kehidupan mereka di daerah buangan. Banyak dari putri pejabat di Jawa yang terbuang di pulau Buru dan menjadi harta milik para lelaki suku Alfuru. Menjadi harta yang bisa diperjual-belikan oleh para suami mereka. Menghadapi masa depan yang tak tentu dan penuh akan ketakutan. Akankah para perawan remaja bisa kembali kepada keluarganya? Jika mereka dapat kembali mampukah membawa beban moral sampai ke depan keluarga? Buku ini cocok dibaca para gadis remaja modern agar lebih menghargai makna dari kemerdekaan dan adanya emansipasi wanita. Akan banyak data-data yang dapat dipelajari untuk menghubungkannya secara utuh pada sejarah Indonesia.


Peresensi: Anggun Putri A. M.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masyarakat Tangguh di Tengah Pandemi

Jangan Takut Berpolitik, Politik itu Asyik

JOKO PINURBO