Pergerakan Abad 20


Judul               : Jejak Langkah
Pengarang       : Pramoedya Ananta Toer
Editor              : Astuti Ananta Toer
Penerbit           : Lentera Dipantara
Tahun terbit     : Cetakan kelima 2006
Tebal buku      : 724 + x
Harga buku     : Rp 55.000,00
         

   Pramodya Ananta Toer seorang sastrawan dan jurnalis terkenal pada masanya hingga sekarang yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan dalam penjara. Tetralogi Pulau Buru ini pun ditulisnya saat diasingkan di Pulau Buru sebagai tahanan politik. Ke empat bukunya (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) dapat diartikan sebagai pembelaan pergerakan dalam beberapa episode. Perlu diketahui oleh generasi bangsa selanjutnya sebagai pembelajaran karena sarat dengan sejarah nasionalisme. Jejak Langkah sendiri merupakan roman ke tiganya yang banyak mengusung cerita tentang pengorganisasian perlawanan. Masih dengan tokoh utama Minke, seorang pribumi yang menginginkan kebebasan bagi dirinya maupun bangsanya. Bebas dari perbudakan kekuasaan Hindia yang sudah berabad-abad memperbudak pribumi di tanahnya sendiri. Namun Minke tidak memilih melawan dengan  perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik. Maka dengan jalan itu Minke berseru-seru: “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.”
            Minke meninggalkan Wonokromo menuju Betawi untuk melanjutkan sekolah dokter di STOVIA. Memasuki abad duapuluh, ia tinggalkan segenap masa lalu di Wonokromo untuk kembali bangkit dan besar. Berpisah dengan Nyai Ontosoroh yang mengajarkan banyak tentang kehidupan. Hari pertamanya di STOVIA sudah disambut dengan pemenuhan tata tertib dari Tuan Direktur dan perlakuan yang tidak sewajarnya dilakukan oleh orang-orang terpelajar calon dokter. Macam perkenalan adalah pembulian. Apalagi Minke hanya seorang pribumi. Permulaan bagaimana ia ditelanjangi dan dipermalukan penghuni asrama. Ia tinggal di asrama dan mulai mendapat sekutu bernama Partotenojo alias Partokleoooo yang akan banyak membantunya belajar untuk mengejar ketertinggalannya.
Wartawan De Locomotief Semarang, Ter Haar menjemput Minke untuk undangan berdiskusi di kamarbola De Harmonie. Kesempatan istimewa yang belum tentu terjadi dalam lima tahun itu akhirnya mendapat restu dari Tuan Direktur. Minke akan bertemu dengan anggota Tweede Kamer Tuan Ir. H. van Kollewijn, dewa kaum liberal  yang dianggap sangat berjasa di Hindia tersebut. Diskusi-diskusi berlangsung dan Minke hanya menyimak, tidak mengajukan pertanyaan. Pertanyaan baru diajukan setelah dipersilakan oleh Gubernur Jendral Vans Heuts, sebab namanya mudah diingat oleh Gubernur Jendral. Namun pertanyaan yang diajukan seputar petani dan pabrik gula telah menjadikan suasana tegang dan membahayakan. Diskusi pun ditutup dengan meninggalkan pertanyaan terakhir yang memalukan. Kebosanan sembilan bulan di STOVIA diarahkan ke perpustakan dan kembali Minke mengingat amanat dari seorang sahabat Tionghoa yang telah meninggal untuk menyampaikan surat pada tunangannya bernama Ang Sang Mei. Akhirnya Minke memperistri Ang Sang Mei seorang gadis yang ternyata menjadi anggota di organisasi Tionghoa Hwee Koan. Muncul darinya untuk mendirikan organisasi bangsa-ganda atas anjuran istrinya dan Dokterjawa pensiunan yang didapatkannya pada sebuah seminar. Syarikat Prijaji pun didirikan pertama-tama oleh pribumi tapi ‘mati’ karena didapat anggota dari kaum priyayi yang statis. Setidak-tidaknya dari Syarikat Prijaji telah menghasilkan ‘Medan’ sebagai koran mingguan. Dari situ ketidakadilan mulai diungkap. Frsachboten sebagai ahli hukum menyediakan seluruh tenaganya untuk menggarap perkara yang masuk. Medan menjadi bacaan pribumi dan mampu menandingi koran Hindia.
”Empat bupati telah berlangganan ‘Medan’: lebih dari seluruh nilai yang dikandung oleh modal nyata. Hanya dalam tiga bulan telah terdaftar seribu limaratus langganan tetap, tersebar di seluruh Jawa, beberapa kota besar di Sumatra dan Cilebes. Lebih dari duaribu percetakan tak mampu melayani.”(hlm. 297)
 Kejadian-kejadian besar di berbagai bangsa muncul. Pemerintahan Van Heuts sarat dengan kekerasan. Setelah Ang Sang Mei meninggal, seluruh hidup Minke makin tertumpah pada Harian, Majalah, dan telah terbit pula Mingguan. Suatu waktu datang Raden Tomo seorang temannya dulu di STOVIA berharap akan keanggotaan Minke pada organisasi-tunggal yang bernama Boedi Oetomo. Namun pada akhirnya Minke keluar dari keanggotaan karena berbeda prinsip. Cita-cita organisasi bangsa-ganda untuk mempersatukan Hindia akan semakin jauh tercapai. Sovinisme budaya dan bahasa membuat mereka jauh lebih tinggi dari bangsa-bangsa se-Hindia. Ia dirikan kembali SDI (Syarekat Dagang Islam) sebagai organisasi-ganda. Perdagangan disadarinya dapat menjadi alat pemersatu dan kunci kemakmuran bangsa. Membenarkan ucapan guru agamanya yang bernama Sjeh Ahmad Badjenad.
“Perdagangan adalah jiwa negeri, Tuan. Biar negeri tandus, kering-kerontang seperti Arabia, kalau perdagangan berkembang subur, bangsanya bisa makmur juga. Biar negeri Tuan subur, kalau perdagangannya kembang-kempis, semua ikut kembang-kempis, bangsanya tetap miskin. Negeri-negeri kecil menjadi besar karena perdagangannya, dan negeri besar menjadi kecil karena menciut perdagangannya.”(hlm. 520)
Namun tidak serta merta karena organisasi tersebut terbentuk atas dasar nasib yang sama, tidak muncul berbagai pergolakan. Bahkan SDI sempat pecah menjadi dua.
Lalu bagaimana dengan Robert Suurhof yang semakin bertingkah ingin menjatuhkan Minke? Dalam roman ini akan diceritakan de Knijpers, munculnya rombongan baru dengan nama T.A.I yang kemungkinan mengejek inisial T.A.S, terror de Zweep (Si Cambuk), dan munculnya Pangemanann dengan dua n. Minke juga didesas-desuskan sebagai anak kesayangan Gubernul Jendral Vans Heuts karena persahabatannya.  Hal yang membuat namanya tercoreng. Sampai-sampai pernikahannya dengan Prinses Dede Maria Futimma de Suusa juga rumah besar yang dihuni adalah hadiah dari Vans Heuts. Tidak disangka Prinses begitu ahli dan berani menggunakan revolver. Dia yang melindungi suaminya dari serangan rombongan Robert Suurhof. Begitu dramatis setelah pemerintahan Vans Heuts digantikan Idenburg. Masalah besar muncul hingga pembuangannya dari Pulau Jawa yang tak menentu itu. Sebelum dibawa pergi polisi ia tinggalkan surat terakhir untuk istrinya yang sedang pergi ke Sukabumi.
Pram telah menyuguhkan cerita yang begitu runtut dan membuat pembacanya ingin terus membaca. Sejarah di dalamnya melebur dalam cerita untuk asyik diikuti karena tidak menuntut dihafal seperti pelajaran sejarah di LKS. Ada beberapa kata yang terjadi kesalahan pengetikan membuat pembaca mengalami dispengertian.  Namun hal itu belum menjadi masalah yang fatal.


Peresensi: Anggun Putri A. M.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masyarakat Tangguh di Tengah Pandemi

Jangan Takut Berpolitik, Politik itu Asyik

JOKO PINURBO