Masyarakat Tangguh di Tengah Pandemi
Sumber gambar: gesuri.id |
Pada masa yang tidak pasti di tengah-tengah pandemi,
pemerintah masih bongkar pasang kebijakan. Mau tidak mau, situasi ini memaksa
masyarakat untuk lebih sigap dalam beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan baru
yang diambil pemerintah. Kita tidak bisa memungkiri bahwa pandemi covid-19
memang telah merepotkan banyak pihak. Sejak menginfeksi Indonesia pada bulan
Februari sampai menginjak bulan Juni, berbagai sektor jadi amburadul tak
karuan. Kebijakan yang diambil pemerintah pun terkesan tidak konsisten dan satu
suara.
Ini terlihat pada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) yang dirasa belum tuntas meredam kebingunan masyarakat, kemudian
muncul wacana kebijakan baru. Meski baru wacana yang akan dilaksanakan dengan
indikator WHO, ketidakkonsistenan tersebut telah memperlihatkan kesan bahwa
pemerintah tengah kebingungan dan kewalahan menangani covid-19. Laksana
pepatah, pemerintah dihadapkan pada situasi bak makan buah simalakama. Jika
perekonomian digenggam, rakyat banyak beraktivitas di luar rumah dan yang
antibodinya lemah, berjatuhan sakit kemudian meninggal terinfeksi virus. Namun,
jika kesehatan yang digenggam, perekonomian lumpuh dan bisa-bisa rakyat mati
kelaparan. Dengan begitu, saat ini kebijakan New Normal dianggap jalan
tengah untuk menyelamatkan keduanya, kesehatan dan perekonomian.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah wacana New
Normal diluncurkan saat pandemi belum sepenuhnya menunjukkan angka
penurunan dan PSBB pun masih longgar pelaksanaannya. Potensi terjadinya puncak
kedua, ketiga dan seterusnya pun masih bisa terjadi jika strategi New Normal
kurang matang ke depannya. Bahkan, pada Kamis 21 Mei berdasarkan data yang
dilansir bbc terjadi kenaikan tertinggi sebanyak 973 kasus. Seminggu
kemudian, melihat kasus di Jakarta yang tergolong wilayah pertama zona merah,
berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang diperbarui pada Kamis 28 Mei, masih
mencapai 7.001 kasus positif. Kemudian, data kenaikan di Indonesia tanggal 3
Juni masih mencapai 684 kasus yang menjadikan jumlahnya mencapai 28.233 kasus.
Angka yang fantastik, mengingat satu orang positif
memiliki potensi menularkan ke keluarga dan orang lain yang kontak dengannya
setiap hari. Bisa dibayangkan jika virus tersebut ternyata masih dibawa oleh
orang-orang yang mungkin tidak sadar bahwa dirinya positif covid tanpa gejala
dan mereka masih berkeliaran di luar rumah tanpa masker dan cuci tangan.
Mengingat kesadaran masyarakat akan kedisiplinan juga masih rendah.
Ini menunjukkan bahwa penerapan PSBB belum berbuah hasil.
Penerapan PSBB yang sejak awal sudah longgar kini perlahan-lahan resmi
dilonggarkan untuk menyambut kehidupan normal baru. Sehingga, wajar jika wacana
New Normal masih diperdebatkan banyak pihak dan menimbulkan perbedaan
pendapat di sana sini hingga memunculkan hashtag #Indonesia Terserah di
kalangan tenaga medis. Namun, meskipun jumlah korban positif belum seluruhnya
pulih, berbagai sistematika menyambut kehidupan normal baru di berbagai sektor
telah dipersiapkan.
Saatnya Sedia Kail dan Ikan Sekaligus
Pemerintah yang bijak bukan yang menyelesaikan segala
persoalan dengan terus-menerus memberikan “ikan” kepada masyarakat. Di saat
situasi dalam status darurat dan semua aktivitas dibatasi maksimal maka memberi
“ikan” penting dilakukan, yaitu bantuan sosial berupa sembako, subsidi listrik,
dan pulsa bagi mahasiswa dan pelajar. Namun, apakah bantuan sosial efektif saat
kondisi New Normal nanti? Mengingat, sebelumnya, bantuan sosial malah
memunculkan berbagai masalah baru karena tidak tepat sasaran.
Masyarakat Indonesia sebagai manusia yang sejatinya punya
daya cipta harus didukung melakukan hal-hal positif untuk mendayagunakan
sendiri dirinya. Maksudnya, masyarakat harus didukung untuk mandiri dan tangguh
di tengah ketidakpastian dan bahaya yang menyerang jasmani mereka. Edukasi mengenai
pentingnya menjaga kebersihan dan memakai masker harus terus dilakukan dengan
bahasa-bahasa yang lebih memasyarakat. Selain itu, bantuan sosial pasti masih
dibutuhkan karena untuk memulihkan perekonomian juga membutuhkan proses
bertahap, terutama masyarakat kecil di daerah-daerah episentrum covid.
Namun, mengharapkan bantuan sosial terus-menerus juga
tidak akan mengubah keadaan jika akhirnya virus ini bertahan lama dan mata
pencaharian sudah terlanjur hancur. Maka, di sinilah “kail” harus diberikan.
Gerakan-gerakan Kampung Tangguh yang merebak di Jawa Timur harus diapresiasi
dan didukung oleh pemerintah. Selain itu, sektor-sektor ketahanan pangan yaitu
para petani dan nelayan di desa-desa juga tidak boleh luput dari perhatian.
Belajar dari Sejarah
Indonesia tidak boleh lagi kecolongan dengan tidak
belajar dari sejarah wabah penyakit terdahulu, yang bahkan juga dinyatakan
sebagai pandemi. Seyogyanya pemerintah dan masyarakat harus belajar dengan
menilik kembali kepada sejarah wabah pes yang pernah pertama kali menginfeksi
Malang pada tahun 1910, kemudian menyebar di Jawa Timur dan provinsi lainnya,
hingga mereda pada tahun 1934 (Melawan Lupa Metro TV). Waktu yang cukup lama
dalam penderitaan kemanusiaan, sosial, politik, dan ekonomi, mengingat covid-19
yang baru 3 bulan menginfeksi Indonesia sudah cukup membuat semua sektor kalang
kabut.
Mulai dari sterilisasi, isolasi mandiri,
karantina wilayah, dan vaksin sudah pernah dilakukan oleh pemerintah
Hindia-Belanda waktu itu. Korban bukannya berkurang, satu tahun setelah
karantina para pemilik usaha perkebunan meminta karantina dibuka dan yang
terjadi adalah korban meninggal pada tahun 1913-1914 bertambah berkali lipat
hingga 15 ribu lebih korban. Padahal jumlah sebelumnya, yaitu tahun 1911-1912
masih dua ribuan korban. Oleh karena itu, dengan tidak lupa belajar dari
sejarah, pemerintah bisa mengantisipasi adanya serangan covid-19 gelombang
kedua dan puncak-puncak susulannya saat New
Normal benar-benar diterapkan.
Dimuat di TIMES Indonesia, Jumat, 05 Juni 2020, 14:00 WIB
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/275673/masyarakat-tangguh-di-tengah-pandemi
Komentar
Posting Komentar