Jangan Takut Berpolitik, Politik itu Asyik


Politik tak selamanya jahat, licik, dan kejam. Begitu menurut Andi Fardan Yakub penulis buku “Politik, Kok, Dibenci” dalam diskusi hangat di kawasan Desa Wisata Pulesari. Bukunya dibedah bersama mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Sabtu pagi, 09 November 2019 kemarin. Mahasiswa pascasarjana yang tergabung dalam FISH (Forum Ilmu Sosial Humaniora) mengadakan makrab dan bedah buku dengan membedah salah satu karya dari anggota FISH sendiri, yaitu Andi.
Andi adalah sosok muda yang sangat menginspirasi dengan 15 buku dan prestasi-prestasinya dalam bidang pendidikan, kebudayaan, kemahasiswaan, perempuan, dan anak. Mahasiswa semester satu magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat UGM ini menyatakan bahwa politik itu asyik walaupun kebanyakan orang berpikir sebaliknya.

Orang berpikir bahwa politik itu jahat dan licik. Sebenarnya pemikiran seperti itu hanya didasari pada pendefinisian yang terlalu sempit. Padahal manusia hidup di dunia ini sudah berpolitik. Orang melakukan pencitraan di media sosial dengan mengunggah foto kegiatan mereka sehari-hari sebenarnya sudah berpolitik. Dengan begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa semua orang membutuhkan pencitraan sebagai eksistensi dirinya. Artinya, semua orang pada dasarnya membutuhkan politik. Andi mengartikan bahwa politik itu sebagai cara untuk mencapai tujuan. Sedangkan yang banyak dibenci orang selama ini adalah politik praktis.

Dalam beberapa kasus bahwa orang Indonesia mudah sekali menjeneralisasi sesuatu. Andi mencontohkan, ketika melihat anggota DPR yang tidur, orang menilai semua anggota DPR seperti itu. “Itu nggak boleh,” ungkapnya. Dari sanalah Andi mencoba untuk menyadarkan masyarakat sekaligus dirinya sendiri dalam buku yang ditulisnya bahwa politik itu sebenarnya asyik.
Menyoal politik, tulisan-tulisan Andi di media sosial maupun media cetak telah dibukukan dan dibedah. Pada saat buku Politik, Kok Dibenci itu dibedah, dua bukunya yang lain juga masih dalam proses penerbitan. Dia menulis dengan menggunakan nalurinya sebagai masyarakat yang menerima berbagai kebijakan untuk memprediksi fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat.

Dalam bukunya di halaman 111 yang berjudul “Belajar dari Abraham Lincoln”, salah satu presiden Amerika Serikat, Ia menceritakan bagaimana proses gagasannya menjadi tulisan. Lawan politik dari Abraham Lincoln adalah orang yang sangat gencar sekali menyerangnya, tetapi justru lawannya itu dipanggil untuk bergabung ke kabinet oleh Abraham Lincoln sendiri. Cara Abraham dalam memasukkan rivalnya ke posisi yang strategis di pemerintahan merupakan hal luar biasa. Melalui topik-topik inilah, Andi belajar dan berpikir bahwa bagaimana jika politik di Indonesia sebagus itu. Kemudian, Andi melihat itu pada pemerintahan Pak Jokowi era sekarang yang mengajak Pak Prabowo bergabung di kementrian.

Andi juga menghimbau bahwa berdemokrasilah, berdemokrasi yang baik. “Elit-elit politik kita itu sebenarnya bagus sekali,” tambahnya. Mereka hari ini bisa baku hantam besok bisa menjadi teman dan bisa saling berpelukan. Itu yang asyik dalam dunia politik menurutnya. Sebab, ketika kita saling mempertahankan pendapat, itu adalah bagian dari politik. Menurut Andi, manusia itu pasti tidak jauh-jauh dari berpolitik, apa pun itu. Manusia pasti mempunyai naluri untuk berpolitik yang hal itu memang dilakukan untuk mempertahankan dirinya. Artinya, di mana pun kita bisa berpolitik.

Mengaku Pengagum Berat Pak Harto

Andi mengakui bahwa ia adalah salah satu pengagum berat Pak Harto. “Kenapa saya pengagum berat Pak Harto?” ungkapnya. Andi melihat dari sisi lain bahwa Pak Harto punya cara yang sebenarnya tidak benar, tetapi ada baiknya juga kalau dilihat dari konteks memimpin Indonesia.  Andi mengatakan bahwa memimpin Indonesia itu hanya ada dua pilihan yang diberikan kepada pemimpinnya. Pertama, pemimpin yang dipimpin atau didekte dan yang kedua, pemimpin yang  memimpin. “Kalau dia dipimpin pasti keadaannya seperti Pak Jokowi jilid pertama, dia hanya sibuk untuk persoalan-persoalan yang terlalu bebas di masyarakat,” jelasnya. Padahal masyarakat Indonesia sebenarnya bukan berada di negara liberal. Orang liberal adalah orang yang bebas berbicara tetapi tidak keterlaluan. “Kalau kita ini apa, bebas mengkritik, menyinyir, mencacai maki pemimpin, itu sudah sangat berlebihan,” tambahnya.

Cara Pak Harto yang diktator dalam pandangan Andi ada tepatnya juga jika dilihat dari sisi memimpin Indonesia. Setiap presiden diberi tugas untuk menyejahterakan masyarakatnya, akan tetapi masyarakat menggoyang pemimpinnya dengan mengkritik dan menyinyir yang berlebihan, tetapi tidak bisa memberi solusi.  Budaya seperti itu yang harusnya diubah bahwa mengkritik itu juga perlu memberikan solusi untuk bangsa yang lebih maju. Ditambah lagi, adanya demonstrasi yang sampai merusak fasilitas negara. Padahal fasilitas negara juga diperbaiki dengan APBN, dengan uang rakyat. Hal-hal seperti ini yang harus dikaji lebih cerdas lagi.

Andi juga belajar dari Presiden Amerika Serikat bahwa di Amerika mantan-mantan presiden membentuk President Club. Para presiden membagi saran kepada presiden yang sedang memimpin. Di Indonesia sendiri sebenarnya juga ada budaya seperti itu, yaitu pada saat Pak Habibi masih hidup, masih ada silaturahmi dan sebagainya. Namun, semenjak tahun 2003 Andi melihat sudah tidak ada budaya seperti itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masyarakat Tangguh di Tengah Pandemi

JOKO PINURBO