Dikuliti Sampai ke Lekuk Pori



Secara pribadi saya merasa dikuliti habis oleh surat-surat Emha yang ditulis kepada Dil, meski saya tak punya kuasa atas apa-apa kecuali kulit ari saya sendiri _ yang itu pun masih terinterferensi sabun mandi. Di sana ada semacam euforia nikmatnya jadi ayam kampung yang ditelanjangi untuk merayakan Lebaran. Emha mengajak pikiran berpetualang dalam setiap pojok sistem tata kehidupan manusia. Semua laku terasa miris, mengusik sekaligus menggelitik. Dan menyehatkan.

Retorika-retorika tentang ideologi, kekuasaan, perjuangan manusia di tengah modernitas, perjuangan manusia di kolong-kolong kekuasaan membuat dahi sedikit-sedikit mengernyit. Sejurus kemudian balik lagi mengangguk-angguk, “betul..., betul....”. Tiba di lembar berikutnya, sambil tersipu-sipu bak membaca novel romantis pada bab happy ending.

Dari Pojok Sejarah adalah renungan perjalanan Emha yang ditulis kepada adiknya, Dil, tentang kegiatannya selama di Eropa, “Negara Landa” dan Jerman. Tulisan berisi paradoks dan ironi yang menghinggapi setiap lekuk sejarah manusia yang berusaha melangkahkan tujuan-tujuan hidup di tengah modernitas. Ironi pada setiap hari masalah kemiskinan dibahas, tapi berakhir sebatas etalase.

Ilmu-ilmu sosial mampu  menggambarkan tulang rangka masalah kemiskinan, tetapi sosok manusia-manusia miskin, sosok keseluruhan kehidupannya bisa tertinggal di pojok layar pertunjukan _ meskipun yang disebut kebudayaan-kemiskinan sudah pula coba digambarkan. Artinya, kita memerlukan juga ilmu yang “manusiawi”, ilmu yang sehari-hari. (hal. 27)

Ya, menurut saya pribadi retorikanya berisi sengatan-sengatan halus yang membuat malu para intelektual terhadap realitas yang terjadi di negaranya, Indonesia. Selain menyumpah serapahi ketidakadilan dan intrik-intrik dari sistem yang dibuat manusia, pembaca diajak bermenung dan bercermin pada setiap laku yang sedang dan akan diambil di tengah modernitas bahwa feodalisme tak pernah kikis dari hidup manusia.

Salah satu dimensi yang paling bersangkutan dengan kawan-kawan mahasiswa ialah bahwa sekolah, universitas, gelar kesarjanaan_kemudian status quo, harta benda_adalah jimat-jimat untuk memperoleh keradenan baru. (hal. 241)

Setiap segi yang dilakukan manusia telah bertautan dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Sebab, segala sesuatu yang berjalan di dunia diatur oleh sistem. Siapa yang menciptakan sistem akan menjadi dewa-dewanya. Peran dewa di dunia adalah penguasa yang menguasai kekuasaan. Kuasa atas setiap laku kinerja kepala-kepala yang bertengger di bawahnya.

Di dalam buku ini, bagian-bagiannya berasa obat yang tersimpan dalam sekat-sekat, yang terus menghasrat untuk diteguk. Galengan-galengan41 yang mengembalikan refresh otak untuk melanjutkan ke galengan berikutnya. Begitu halus dalam menyusupkan kritik atas realita keadaan manusia. 

catatan: masih berupa resensi ala kadarnya dan butuh maintenance

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masyarakat Tangguh di Tengah Pandemi

Jangan Takut Berpolitik, Politik itu Asyik

JOKO PINURBO