Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2015

Membaca Murjangkung

Gambar
Judul                : murjangkung (cinta yang dungu dan hantu-hantu) Penulis              : A.S Laksana Penerbit            : GagasMedia Tahun terbit      : 2013 Tebal buku       : 214 + vii Harga buku      : Rp 50.000,00 Mereka datang 213 tahun sebelum negeri mereka menemukan kakus. Mula-mula mereka singgah untuk mengisi air minum dan membeli arak dari kampung Pecinan di tepi barat sungai; lima tahun kemudian mereka kembali merapatkan kapal mereka ke pantai dan menetap di sana seterusnya. Tuan Murjangkung, raksasa berkulit bayi yang memimpin pendaratan, membeli dari Sang Pangeran tanah enam ribu meter persegi di tepi timur sungai. Di sana ia mendirikan rumah gedong dan memagar tanahnya dengan dinding putih tebal dan menghiasi dinding pagarnya dengan pucuk-pucuk meriam.‒”Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut.” A.S Laksana selalu dapat menyihir pembacanya dengan cerita-cerita menarik yang ia ciptakan. “Murjangkung” ini salah satu

Menuju “Sigolo Golo”; Lewati Situs Sejarah

Gambar
"Sejuknya Sigolo Golo river" Liburan akhir pekan bagi para pecinta sejarah. Melewati jalur yang searah namun tak mengurangi target rentetan kunjungan tempat-tempat wisata. Apalagi bagi kita yang statusnya masih pelajar ataupun mahasiswa belum berpenghasilan tetap. Ibarat pepatah ”Sambil menyelam minum air” dan yang satu ini tak membuatmu tenggelam karena terlalu banyak minum air. (intermeso).   Hemat namun tetap dapat menjelajah. Begitulah prinsipku dan teman-teman saat jenuh berkutat dengan lembaran kertas namun masih terus berada pada garis pengiritan.    Kota Mojokerto sebagai pusat kerajaan Majapahit meninggalkan kekayaan sejarah berupa situs-situs purbakalanya. Menjadi warga asli Mojokerto tentu memiliki kebanggaan tersendiri. Berbatasan dengan kabupaten Jombang akan dekat pula dengan Sigolo Golo river dan Sigolo Golo cave, di Desa Panglungan, Dusun Sranten, Kecamatan Wonosalam . Selain buah duriannya ternyata masih banyak lagi daya tarik yang dimiliki k

Gadis-gadis yang Dirampas

Gambar
Judul               : Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer Penulis            : Pramodya Ananta Toer Penerbit          : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Tahun terbit    : 2001 Penyunting      : Candra Gautama Tebal buku      : IX + 218 Harga buku     : Rp 43.000,00 “…kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang bisa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu…Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat…” Buku ini adalah naskah yang ditulis Pramodya Ananta Toer saat statusnya masih menjadi tapol di pulau pengasingan Buru. Karya-karyanya selalu menceritakan nilai kemanusiaan berlatar pada zaman penjajahan sampai pergerakan nasional di Indonesia.  Tahun 1943-1945, ketika itu terjadi perang dunia II dan seluruh jajahan negeri barat jatuh ke balatentar

Pergerakan Abad 20

Gambar
Judul               : Jejak Langkah Pengarang       : Pramoedya Ananta Toer Editor              : Astuti Ananta Toer Penerbit           : Lentera Dipantara Tahun terbit     : Cetakan kelima 2006 Tebal buku      : 724 + x Harga buku     : Rp 55.000,00              Pramodya Ananta Toer seorang sastrawan dan jurnalis terkenal pada masanya hingga sekarang yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan dalam penjara. Tetralogi Pulau Buru ini pun ditulisnya saat diasingkan di Pulau Buru sebagai tahanan politik. Ke empat bukunya ( Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) dapat diartikan sebagai pembelaan pergerakan dalam beberapa episode. Perlu diketahui oleh generasi bangsa selanjutnya sebagai pembelajaran karena sarat dengan sejarah nasionalisme. Jejak Langkah sendiri merupakan roman ke tiganya yang banyak mengusung cerita tentang pengorganisasian perlawanan. Masih dengan tokoh utama Minke, seorang pribumi yang menginginkan kebebasan bagi dirinya maupun

Didekap Suara

Pagi, beratmosfer canda para muda Tak dapat kularut bersama Masih ada tawa yang tertunda Menahanku dalam dekapan suara Bagaimana kau seduh pagi  Biar hangat menjulur ke kaki Sampai pagi disambut dhuha Aku masih mengingat Cari-cari kau yang kucari Ajari aku meramu pagi Meramu angin dan pohon kelapa Agar indah, Bernyanyi dalam kata Juga sanggup kuhibur kolibri di sini Dengan cerita yang kau tulis di sana Bangkalan, Juni 2015

Akukah itu?

Aku semakin gila membumbung dalam angan-angan. Ra, kau semakin dalam membawaku menyusuri tabur-tabur sakura pada terowongan kata. Gemulai membentuk syair-syair jiwa. Ada kata cemburu yang meyakinkan aku. Ada perih rindu yang mencarimu. Ketika malam semakin teduh menangkupku di antara doa. Baru saja. Baru saja aku merasa papa. Merenung kepapaan-kepapaan lama. Menjadi anak itik yang merana. Dihempas riak-riak danau gelora. Namun kepapaan membuatku lebih peduli. Aku tidak mengerti arti rasa. Apapun yang kutulis untuk mendefinisikannya. Kuhapus. Kutulis. Kuhapus. Kutulis. Kuhapus lagi. Kau takkan temukan Ra. Namun semakin aku bingung pada diriku sendiri. Semakin aku tak menginginkan hilangmu. Waktu menumbuhkannya menjadi rindu menggumpal. Cairkanlah sedikit demi sedikit rinduku dengan penamu, Ra. Hanya sedikit obat rindu agar aku bertahan. Bangkalan, 05 Agustus 2015