Koyak Moyak Hukum Hindia; Hak yang Dikapir




 
Judul               : Anak Semua Bangsa
Penulis             : Pramodya Ananta Tour
Penerbit           : Lentera Dipantara
Tahun terbit     : Cetakan 13, September 2011
Tebal buku      : 539 + xi
Harga buku     : Rp 90.000,00



“Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat, dan waktu kelahiran, orang tua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.”

Di saat seluruh dunia memuji-muji kekuasaan kolonial, maka yang tak kolonial akan dianggap tak memiliki hak hidup. Begitulah zaman modern. Yang tak memiliki ilmu pengetahuan; tak baru dianggap tertinggal dan kolot maka hanya akan jadi bahan penindasan dan perampasan.
Melanjutkan kisah terpotong dari Bumi Manusia yang merupakan periode penyemaian dan kegelisahan, Anak Semua Bangsa adalah novel ke dua dari ke empat novel dalam tetralogi karangan Pramodya Ananta Tour. Berisikan beberapa observasi turun langsung mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah. Dorongan dari Khouw Ah Soe, surat-surat keluarga De la Croix, teman-teman Eropanya yang liberal, dan mertuanya sekaligus guru agungnya sendiri yaitu Nyai Ontosoroh terus menggugah kesadaran Minke sebagai penulis untuk mengenal bangsanya sendiri dan memulai menulis dalam bahasa bangsanya sendiri.
Kebesaran peradaban Eropa, hukum serta persekongkolan setan jahat Eropa, Jawa dan Hindia semakin membawa istrinya, Mevrouv Annelis larut direnggut ketidakadilan. Hak-hak pribadi yang diambil. Impiannya untuk hidup di samping Minke suaminya dan di sekeliling orang-orang yang dicintai turut kandas ketika kapal yang mengangkutnya segera berlayar ke Nederland. Bahkan Minke dan Nyai Ontosoroh dilarang mengantar sampai pelabuhan Surabaya. Suasana tegang melingkupi Surabaya menimbulkan amarah segerombolan orang-orang Madura yang menaruh simpati untuk menghalau kereta yang membawa Annelis. Perkelahian pun tak terhindarkan hingga menimbulkan pertumpahan darah yang tak patut dituliskan. Seiring kepergian Annelis berdatanganlah surat-surat dari Robert Jan Dapperste alias Panji Darman mengabarkan keadaan Mevrouv Annelis. Sampai datang  suratnya dari Amsterdam, bahwa Mevrouv Amelia Mellema-Hammers ibu tirinya tidak mengindahkan Annelis sama sekali yang sedang sakit keras di dusun B. Ketika surat Panji Darman dari tilgram menyatakan tugasnya telah selesai. Lalu apa yang terjadi pada Annelis?
“Sembilan bulan kukandung dia, kulahirkan dengan kesakitan. Kubesarkan. Kudidik untuk jadi administratur yang baik. Kukawiinkan denganmu……Sekarang mestinya dia sudah tumbuh dengan indahnya…..Mati terbunuh dalam genggaman orang yang sama sekali tidak pernah mengenalnya. Tak pernah berbuat sesuatu yang baik untuknya, dan hanya menghinanya.” Nyai Ontosoroh masih dengan kegeramannya.
            Tigaratus tahun tidaklah sebentar bangsa ini berada dalam cengkraman kolonial. Hal itu membuat geram kaum terpelajar yang karena kesadarannya malah tak berdaya. Jean Marais sahabatnya terus mendesak Minke agar menulis dalam Melayu. Dalam bahasa yang dimengerti oleh bangsanya. “Kau seorang terpelajar! Kau harus adil-adil sudah sejak dalam pikiran.”
            Dari Khouw Ah Soe aktivis pergerakan Tionghoa, dia juga mendapat pengajaran, “Tidak, sama sekali tidak... setidak-tidaknya semua percuma kalau toh harus diperintah oleh Angkatan Tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut serta jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Percuma, Tuan. Sepandai-pandai ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi bodoh, Tuan.” Eropa yang bermegah itu juga latah pada budaya bangsa  yang dijajahnya. Membolak-balikkan jaman  dan keadaan.
            Pribumi telah jatuh dalam kehinaan dan tidak mampu membela diri. Maka Eropa menertawakan penguasa-penguasa pribumi di Jawa yang mempunyai kepentingan kekuasaan  untuk menguasai rakyatnya dengan takhayul. Hingga saat ini takhayul-takhayul masih lekat dipercaya masyarakat adalah warisan para penguasa karena dengan cara itulah mereka tak mengeluarkan biaya banyak untuk menyewa polisi  dalam mempertahankan kepentingannya.   
            Sedangkan ilmu pengetahuan modern memberi inspirasi dan nafsu untuk menguasai. Maka Hindia harus membuka mata melihat dunia luar. Pada Filipina pendiri Republik pertama di Asia. Dan menjadi percobaan sejarah karena keruntuhannya. Pada Jepang yang berhasil meyejajarkan kedudukannya dengan bangsa kulit putih. Karena Jepang merantau membawa ilmu. Memelajari daya pengembang negeri sendiri. Berbeda pula dengan Cina yang merantau mengumpulkan uang hanya agar bisa memuaskan bandit-bandit leluhur mereka.
            Orang-orang semakin maju dan berlomba-lomba menciptakan mesin untuk mempermudah pekerjaan manusia. Memanjakan manusia-manusia di jaman modern. Maka jangan salahkan jika akibatnya mereka akan semakin buas memangsa bangsa kaya namun bodoh. Semakin tidak puas setelah tersampaikan kemauannya.  Dan pribumi terpuruk hanya bisa mengutuki penjajah tanpa dapat melawan.
            “Barang siapa yang muncul di tengah-tengah masyarakatnya, dia akan selalu menerima tuntutan dari masyarakatnya.” Mana ada pohon tinggi yang bisa menolak angin. Minke selalu tersinggung hatinya sebagai penulis dianggap belum terlalu dalam mengenal bangsanya. Saat itulah dia melakukan observasi pada kehidupan arus bawah. Di samping itu Nyai Ontosoroh selalu menjadi guru agungnya. “Karena kau menulis. Suaramu takkan padam di telan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
            Pada kisah Surati gadis rupawan yang rela mencemplungkan dirinya pada wabah cacar karena hendak digundik oleh Plikemboh, Tuan Besar Kuasa Administratur. Hingga dia menyerahkan diri ke kamar Plikemboh setelah cacar menjalari tubuhnya. Terbalaslah dendam dan penderitaan rakyat tani yang ditipunya atas penderitaan cacar yang ditularkan Surati hingga ke Tulangan, Sidoarjo.
            “Kalau wig ini terlepas dari kepalaku tanpa semauku sendiri, berarti mereka telah mendapatkan aku. Mereka_Gerombolan Thong.” Kabar dari koran yang mengguncangkan karena matinya seorang perusuh, tak lain adalah Khouw Ah Soe. Yang berseru-seru pada bangsanya untuk bangkit karena bahaya Jepang telah menjamah Cina. Jepang akan menelan Cina jika masih berlengah-lengah di jaman modern. Namun suaranya tak didengar oleh bangsanya sendiri.
            Di lain pihak bangsa pribumi sendiri telah berhasil dibikin sedemikian rendahnya, oleh bangsa Eropa, oleh pembesar-pembesar Pribumi sendiri. Mereka menjadi penakut akibat pesangon dari kekalahan terus-menerus selama tiga ratus tahun. Jika kau mendengar nama Trunodongso maka telah memperingatkan bahwa nama dengan awalan Truno adalah lambang keberangasan, harapan akan tetap bersemangat muda, kekuatan dan kesehatan penuh karena telah mempelajari seni berkelahi. Lalu apa yang akan terjadi pada seorang tani bernama Trunodongso yang bersikeras tidak menyewakan tanahnya untuk perkebunan tebu? Teror? Pembunuhan? Akankah ia dapat mempertahankan haknya? Dan kisah perusahaan hasil jerih payah Nyai Ontosoroh yang begitu dramatis. Akankah pindah tangan kepada Ir. Mellema ahli waris sah secara hukum hanya karena anak kandung dari perkawinan yang sah atas semua harta Herman Mellema
Buku ini layak dibaca siapa saja yang membutuhkan kenal dengan karya-karya sastra kanon bangsanya. Bahkan menjadi buku wajib yang dibaca pelajar SMA di Malaysia. Bahasanya yang agak berat memang tidak cukup untuk sekali baca. Bagi yang membutuhkan menghayati berbagai tragedi di dalamnya tidak ada salahnya untuk membacanya kembali.


Peresensi: Anggun Putri A. M.
           

  



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masyarakat Tangguh di Tengah Pandemi

Jangan Takut Berpolitik, Politik itu Asyik

JOKO PINURBO