Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2015

Keterbatasan Dokter

Menjadi dokter itu cita-cita yang mulia. Benarkah? Tapi menurutku itu adalah cita-cita klise dari tiru-meniru pendapat guru tanpa perhatian khusus, bahkan rata-rata hampir seluruh siswa di kelas cita-citanya sama. Sejak anak-anak, waktu aku duduk di Sekolah Dasar hanya kosakata dokter yang bisa kuucap ketika aku ditanya tentang apa cita-citaku. Cita-cita? Hingga duduk di bangku SMA saja aku masih digalaukan dengan cita-cita. Akankah aku berkomitmen dengan imaji kanak-kanakku itu? Mungkin aku membenarkan iya karena sejak SMP aku mulai tertarik pada dunia sains. Tapi aku juga menyalahkan tidak karena aku menjauhkan diri dari pencapaian cita-cita itu setelah lulus SMA. Di otakku terisi informasi bahwa dunia kedokteran sekarang sudah kacau balau. Banyak praktek ilegal menumbalkan nyawa banyak orang. Membuatku begidik. Apalagi masyarakat menengah ke bawah yang mendapat jaminan kesehatan gratis malah menjadi bahan percobaan mala praktek dokter-dokter muda. Mala praktek yang menimbulkan ba

Sampai Kau Bawa Di Mana Cinta Abadi?

            Dunia mengalami kekosongan, kehampaan, dan kesenyapan karena sebuah nama. Nama yang kau sebut Cinta. Tak ada dia, laut yang membentang biru terasa suram bak utopia terkurung guyuran hujan. Kalau pujangga biasa berkata itu taman tanpa bunga.             Dan Cinta membuat siapapun yang mengalaminya akan berjuang. Menyeberangi selat Madura untuk bertemu kekasih dengan kapal Gajah Mada yang selalu basa-basi menyentuh bibir dermaga dan kau gelisah di perut bajanya, itukah Cinta ? Tapi sejauh mana Cinta itu diperjuangkan? Dan yang bernama cinta abadi sampai mana perjuangan tuk menyatu, terakhiri? Cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku? Penuh kegelisahan.             Meski perahu melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam. Tapi kutahu cintaku belum berkarat bila tiba di pulau itu.             Cerita yang mengajakku bermain Cinta. Aku sadar bahwa Cinta bukanlah benda (material) yang mudah musnah. Bukan benda yang seenaknya saja

Perempuan Takluk Perempuan Penakluk

            Guratan halus yang menggelontorkan ayumu itu makin menjamur. Kini kuintip tak hanya di dahi. Merambah sampai pantulan cahaya mata kian mengabur oleh kikisan usia. Masih tetap seperti dua puluh tahun silam aku masih menyebutmu dengan panggilan sayang Mak. Mak .., ketika kau lahirkan aku sebagai perempuan, banyak persyaratan yang harus kuturuti meski aku tak pernah suka. Mak... , andai aku seorang laki-laki apakah aku boleh bermain dengan teman-temanku sampai larut malam? Seperti Mas Firul, tetangga sebelah yang selalu menggendong kekasihnya Si Gadis Akustik (baca: gitar) sambil bersiul menggoda rembulan. Atau seperti anak-anak yang baru disunat itu? Memanjat pohon Kersen dan makan buahnya yang merah ranum sebanyak-banyaknya. Sambil bertengger lama-lama di ranting-ranting muda tak takut pada dunia manapun. Tapi Mak.. , aku kau lahirkan sebagai perempuan. Kata Bu Muasus guru ngajiku dulu, perempuan itu mulia. Buktinya, namanya sering disebut-sebut sebagai lambang kemuliaan

Pertanggungjawaban Kalut

Pesawat terbang sedang kau buat dari sesobek kertas bekas. Menulislah kau dengan nada tak berdosa. Tak merasa hina meski pojokan-pojokan kosong menarik tanganmu. Lalu lehermu. Kemudian tubuh dan kakimu. Sederet bangku panjang menguntit dan menjejalimu dengan pertanyaan setinggi langit. Tempat bintang tak bisa menggapai singgasananya sendiri. Kosong bayang-bayang masa depan tempatmu menangguhkan alasan. Terlalu tak segan menyibukkan diri sendiri. Jawaban yang kau tahu pun hilang lumat dari rongga tenggorokmu. Seharusnya kau menanyainya saat dia marah, bukan ketika dia lelah. Lihat matanya seperti apa keletihannya. Jawaban yang kau ingin pastikan dari bibirnya tak jua bergerak pasti, karena jawaban itu adalah mantra kesensitifan. Kenapa ada be rbeda . Ketika kau usik waktu-waktu sensitif itu hanya dapat kau ketahui saat emosi menyergap ruang sunyi yang kini sedang damai dalam dirinya. Kau mengenalnya ? K au tahu ? Hati yang gemuruh kini sedang bergolak menuju titik didih, akan mem

Bedug Bolong

Gambar
Wahai! Kau yang berkerudung kelabu Sedang mengecup-ngecup tetesan anggur Tertawa-tawa pada bola mata Lihatlah! Makin selera lihat aku dahaga Aku merongrong ditusuk gersang udara Ludahku menguap dibawa bola pukul sebelas, Tak tersisa Lalu aku pun terkibul Dibolongi bedug pertamaku dengan sodokan anggur Katanya Iblis telah mati terkurung, Aku curiga sambil lamat-lamat mendekat malu-malu Jangan-jangan Iblis menjelma wanita berkerudung kelabu itu. Wahai! Begitu banyak Iblis lebih pandai Pada Zamannya polisi gampang dikibul Wahai! Di mana gerangan gadis berkerudung hijau yang mengajariku alif demi alif? Kemarin kulihat Iblis tersuruk-suruk menangkap siluet tubuhnya Andai bedug tak bolong, tak   aku menggelombang rindu alifnya Bangkalan, 04 Juli 2015 diantologikan oleh penerbit Rumah Kita gambar ilustrasi soelangelage.bs.com