Perempuan Takluk Perempuan Penakluk
Guratan halus yang menggelontorkan
ayumu itu makin menjamur. Kini kuintip tak hanya di dahi. Merambah sampai
pantulan cahaya mata kian mengabur oleh kikisan usia. Masih tetap seperti dua
puluh tahun silam aku masih menyebutmu dengan panggilan sayang Mak. Mak.., ketika kau lahirkan aku
sebagai perempuan, banyak persyaratan yang harus kuturuti meski aku tak pernah
suka. Mak..., andai aku seorang
laki-laki apakah aku boleh bermain dengan teman-temanku sampai larut malam?
Seperti Mas Firul, tetangga sebelah yang selalu menggendong kekasihnya Si Gadis
Akustik (baca: gitar) sambil bersiul menggoda rembulan. Atau seperti anak-anak
yang baru disunat itu? Memanjat pohon Kersen dan makan buahnya yang merah ranum
sebanyak-banyaknya. Sambil bertengger lama-lama di ranting-ranting muda tak
takut pada dunia manapun. Tapi Mak..,
aku kau lahirkan sebagai perempuan. Kata Bu Muasus guru ngajiku dulu, perempuan
itu mulia. Buktinya, namanya sering disebut-sebut sebagai lambang kemuliaan.
Tapi kemudian entah, waktu itu, terdengar nyelekit di hatiku. Tulang-tulang
rawan di telingaku memrotes nama aneh itu. ketika aku berkenalan dengan “anak”
yang dilahirkan Ahmad Tohari bernama Ronggeng Dukuh Paruk. Srintil. Ya Srintil. Nama
itu pula yang kudengar waktu aku kecil saat para tetangga mengganti nama
panggilanmu. Dan kau mesam-mesem tak tahu ada cerita di balik itu. Dengarkanlah
Mak… Aku akan ceritakan sekarang.
Sebuah perdukuhan yang dilanda kemarau, alam
mengirit sumber makanan untuk memertahankan diri dari kehidupan. Tapi, manusia
berakal punya segala cara untuk menang memertahankan hidupnya. Anak-anak pun
seperti itu. Rasus, Warta, dan Darsun dengan akal kanak-kanaknya mengencingi
pangkal batang pohon singkong agar tanahnya melunak dan singkong mudah dicabut.
Lalu singkong yang sebesar ibu jari itu diperebutkan untuk langsung dimakan
mentah-mentah. Tak peduli bau sengak kencing sendiri asal mereka mendapatkan
makanan. Melangkah di bawah pohon nangka, tertarik suara seorang gadis kecil
berusia 11 tahun menyanyikan lagu erotik dengan fasihnya. Srintil, itulah namanya. Rasus, Warta, dan Darsun menghampiri lalu
menarilah mereka bersama-sama. Boleh jadi Srintil belum paham benar lirik lagu
yang ia nyanyikan. Meski lagu paling cabul sekalipun dengan tarian Srintil yang
luwes diiringi suara musik dari mulut Rasus, Warta, dan Darsun menjadi mainan
penghibur anak-anak di Perdukuhan. Sekecil itu, Srintil sudah bersikap bagai
penari ronggeng berbakat. Di kampung kecil yang miskin, Dukuh Paruk, miskin pulakah tata nilai moral mereka pada
sosok perempuan? Apa yang orang-orang Dukuh Paruk perlakukan terhadap Srintil
selanjutnya?
Berpegang pada leluhur mereka Ki Secamenggala. Dukuh
Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Kertajaya sang pemangku adat
mengetahui bakat Srintil dari Sakarya kakeknya, bahwa Srintillah anak pilihan
Ki Secamenggala sebagai penerus dunia peronggengan. Berbagai ritual mulai
dilakukan Srintil hingga ia terlihat semakin keluar aura kecantikannya. Semua
orang jadi memanjakan Srintil. Saat Srintil meronggeng, Dukuh Paruk mulai hidup
dengan gairah baru. Terjadilah persaingan yang aneh antara kaum istri. Mereka
berlomba-lomba mendapatkan suami mereka sendiri dengan harta yang mereka punya
untuk berebut menjamah Srintil setelah ditayub. Seorang ronggeng tidak akan
menjadi bahan pencemburu bagi perempuan Dukuh Paruk. Semakin lama suami mereka
bertayub semakin bangga istri-istri itu. Hingga perjalanan untuk menjadi
ronggeng yang sebenarnya ia harus menjalani pula ritual bukak klambu. Kertajaya
sang pemangku adat meminta seringgit emas pada sayembara yang akan diadakan
untuk membuka keperawanan Srintil. Seringgit emas seharga kerbau gemuk yang
tidak ada orang Dukuh Paruk bisa menyanggupi. Ronggeng adalah piaraan dari
induk semangnya. Pada saatnya nanti, jika nurani itu masih ada, Srintil juga
berhak memiliki perasaan tertentu terhadap lelaki tertentu.
Demikianlah Mak..,
Srintil yang masih kecambah dipupus masa depannya. Diperosokkan oleh adat
pada dunia peronggengan. Karena hati nuraninya juga menuntut. Maka kegetiran
hidup adalah kenyataan bahwa dia seorang perempuan yang termarjinalkan.
Bersuara dan menentukan hak untuk dirinya sendiri ia tidak mampu. Mengorbankan
diri atau mengorbankan seluruh masyarakat perdukuhannya. Itulah dua tumbal yang
harus dipilihnya.
Komentar
Posting Komentar