Keterbatasan Dokter
Menjadi
dokter itu cita-cita yang mulia. Benarkah? Tapi menurutku itu adalah cita-cita
klise dari tiru-meniru pendapat guru tanpa perhatian khusus, bahkan rata-rata
hampir seluruh siswa di kelas cita-citanya sama. Sejak anak-anak, waktu aku
duduk di Sekolah Dasar hanya kosakata dokter yang bisa kuucap ketika aku
ditanya tentang apa cita-citaku. Cita-cita? Hingga duduk di bangku SMA saja aku
masih digalaukan dengan cita-cita. Akankah aku berkomitmen dengan imaji
kanak-kanakku itu? Mungkin aku membenarkan iya karena sejak SMP aku mulai tertarik
pada dunia sains. Tapi aku juga menyalahkan tidak karena aku menjauhkan diri
dari pencapaian cita-cita itu setelah lulus SMA. Di otakku terisi informasi
bahwa dunia kedokteran sekarang sudah kacau balau. Banyak praktek ilegal menumbalkan
nyawa banyak orang. Membuatku begidik. Apalagi masyarakat menengah ke bawah
yang mendapat jaminan kesehatan gratis malah menjadi bahan percobaan mala
praktek dokter-dokter muda. Mala praktek yang menimbulkan banyak korban ini menurunkan
kepercayaan masyarakat untuk berobat ke dokter. Hal ini digambarkan begitu
ironis ketika dukun lebih dipercaya daripada dokter. Masih ingatkan dengan
kisah dukun cilik ponari?
Cerpen
karya Putu Wijaya yang judulnya Dokter membuat aku melihat dan merasakan
gambaran kehidupan luar tentang masyarakat apalagi masyarakat di pedalaman. Melukiskan
hubungan antarmasyarakat di sana. Kehidupan masyarakat pedalaman yang begitu
polos tidak pernah tersentuh oleh ilmu pengetahuan. Sedangkan di belahan bumi
lain, kehidupan kota lebih maju persaingannya akan ilmu pengetahuan. Berkembang
pesat tapi masih saja banyak masalah yang tidak bisa diatasai. Salah satunya
dalam ilmu kedokteran. Seorangg dokter bernama John Manangsang yang mengabdi di
pedalaman belantara Boven Digul berkata bahwa masyarakat pedalaman cenderung
menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun. Kalau yang
sakit sudah sekarat, baru dibawa ke puskesmas. Biasanya pasien parah langsung
diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihat jarum infuslah
yang membunuhnya.
Pada
suatu malam ketika Dokter Boven dijemput untuk menyembuhkan penyakit perut akibat
kiriman dukun. Tubuh orang pedalaman itu sudah kaku. Keluarganya percaya bahwa
di dalam perut si sakit ada seekor ular. Dokter Boven dipaksa untuk dapat
mengeluarkan ular itu agar jangan sampai terlambat. Menurut analisa dokter
orang pedalaman itu sekarat akibat kekurangan gizi dan telah menengguk beberapa
ramuan dukun. Di saat seperti itu ilmu kedokteran tidak berlaku di masyarakat.
Mereka malah menuduh Dokter Bovenlah penyebab kematian keluarganya. “Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar!
Kejar!”. Mereka mendorong saya dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu
kembali dari kematiannya. Mereka bahkan siap membantu saya dengan senjata kalau
nantinya harus berkelahi. Sang dokter berpikir keras bagaimana caranya
menjelaskan bahwa itu hal yang mustahil. Dan mereka harus berlapang dada
menerima kabar kematian saudaranya. Maka dokter Bovan mengatakan “Dia
meninggalkan pesan. Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak
dan keluargaku yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua,
biarkan aku istirahat sekarang, karena aku sudah lelah sekali.” Orang-orang itu
menerima uang tanpa menanyakan apa-apa.
Sebagai
orang yang pernah mengecam pendidikan dan memahami rasa kemanusiaan, kekerasan
bukanlah jalan yang ditempuh untuk menjadikan sekelompok orang menjadi paham.
Beragamnya suku, kepercayaan, dan budaya di negeri ini lantas tidak boleh
membuat sekelompok orang menjadi arogan dan memojokkan sekelompok orang
tertentu. Putu Wijaya mencoba mengekspresikan nilai-nilai kehidupan agar tetap
menghibur juga tetap membuat pembaca memikirkan kehidupan sekitarnya. Menggunakan
bahasa yang dipahami oleh budaya sekitar itu lebih baik. Dokter akan dipandang
sebagai pekerjaan mulia sesuai esensinya.
Komentar
Posting Komentar