Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Keterbatasan Dokter

Menjadi dokter itu cita-cita yang mulia. Benarkah? Tapi menurutku itu adalah cita-cita klise dari tiru-meniru pendapat guru tanpa perhatian khusus, bahkan rata-rata hampir seluruh siswa di kelas cita-citanya sama. Sejak anak-anak, waktu aku duduk di Sekolah Dasar hanya kosakata dokter yang bisa kuucap ketika aku ditanya tentang apa cita-citaku. Cita-cita? Hingga duduk di bangku SMA saja aku masih digalaukan dengan cita-cita. Akankah aku berkomitmen dengan imaji kanak-kanakku itu? Mungkin aku membenarkan iya karena sejak SMP aku mulai tertarik pada dunia sains. Tapi aku juga menyalahkan tidak karena aku menjauhkan diri dari pencapaian cita-cita itu setelah lulus SMA. Di otakku terisi informasi bahwa dunia kedokteran sekarang sudah kacau balau. Banyak praktek ilegal menumbalkan nyawa banyak orang. Membuatku begidik. Apalagi masyarakat menengah ke bawah yang mendapat jaminan kesehatan gratis malah menjadi bahan percobaan mala praktek dokter-dokter muda. Mala praktek yang menimbulkan ba

Sampai Kau Bawa Di Mana Cinta Abadi?

            Dunia mengalami kekosongan, kehampaan, dan kesenyapan karena sebuah nama. Nama yang kau sebut Cinta. Tak ada dia, laut yang membentang biru terasa suram bak utopia terkurung guyuran hujan. Kalau pujangga biasa berkata itu taman tanpa bunga.             Dan Cinta membuat siapapun yang mengalaminya akan berjuang. Menyeberangi selat Madura untuk bertemu kekasih dengan kapal Gajah Mada yang selalu basa-basi menyentuh bibir dermaga dan kau gelisah di perut bajanya, itukah Cinta ? Tapi sejauh mana Cinta itu diperjuangkan? Dan yang bernama cinta abadi sampai mana perjuangan tuk menyatu, terakhiri? Cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku? Penuh kegelisahan.             Meski perahu melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam. Tapi kutahu cintaku belum berkarat bila tiba di pulau itu.             Cerita yang mengajakku bermain Cinta. Aku sadar bahwa Cinta bukanlah benda (material) yang mudah musnah. Bukan benda yang seenaknya saja

Perempuan Takluk Perempuan Penakluk

            Guratan halus yang menggelontorkan ayumu itu makin menjamur. Kini kuintip tak hanya di dahi. Merambah sampai pantulan cahaya mata kian mengabur oleh kikisan usia. Masih tetap seperti dua puluh tahun silam aku masih menyebutmu dengan panggilan sayang Mak. Mak .., ketika kau lahirkan aku sebagai perempuan, banyak persyaratan yang harus kuturuti meski aku tak pernah suka. Mak... , andai aku seorang laki-laki apakah aku boleh bermain dengan teman-temanku sampai larut malam? Seperti Mas Firul, tetangga sebelah yang selalu menggendong kekasihnya Si Gadis Akustik (baca: gitar) sambil bersiul menggoda rembulan. Atau seperti anak-anak yang baru disunat itu? Memanjat pohon Kersen dan makan buahnya yang merah ranum sebanyak-banyaknya. Sambil bertengger lama-lama di ranting-ranting muda tak takut pada dunia manapun. Tapi Mak.. , aku kau lahirkan sebagai perempuan. Kata Bu Muasus guru ngajiku dulu, perempuan itu mulia. Buktinya, namanya sering disebut-sebut sebagai lambang kemuliaan

Pertanggungjawaban Kalut

Pesawat terbang sedang kau buat dari sesobek kertas bekas. Menulislah kau dengan nada tak berdosa. Tak merasa hina meski pojokan-pojokan kosong menarik tanganmu. Lalu lehermu. Kemudian tubuh dan kakimu. Sederet bangku panjang menguntit dan menjejalimu dengan pertanyaan setinggi langit. Tempat bintang tak bisa menggapai singgasananya sendiri. Kosong bayang-bayang masa depan tempatmu menangguhkan alasan. Terlalu tak segan menyibukkan diri sendiri. Jawaban yang kau tahu pun hilang lumat dari rongga tenggorokmu. Seharusnya kau menanyainya saat dia marah, bukan ketika dia lelah. Lihat matanya seperti apa keletihannya. Jawaban yang kau ingin pastikan dari bibirnya tak jua bergerak pasti, karena jawaban itu adalah mantra kesensitifan. Kenapa ada be rbeda . Ketika kau usik waktu-waktu sensitif itu hanya dapat kau ketahui saat emosi menyergap ruang sunyi yang kini sedang damai dalam dirinya. Kau mengenalnya ? K au tahu ? Hati yang gemuruh kini sedang bergolak menuju titik didih, akan mem

Bedug Bolong

Gambar
Wahai! Kau yang berkerudung kelabu Sedang mengecup-ngecup tetesan anggur Tertawa-tawa pada bola mata Lihatlah! Makin selera lihat aku dahaga Aku merongrong ditusuk gersang udara Ludahku menguap dibawa bola pukul sebelas, Tak tersisa Lalu aku pun terkibul Dibolongi bedug pertamaku dengan sodokan anggur Katanya Iblis telah mati terkurung, Aku curiga sambil lamat-lamat mendekat malu-malu Jangan-jangan Iblis menjelma wanita berkerudung kelabu itu. Wahai! Begitu banyak Iblis lebih pandai Pada Zamannya polisi gampang dikibul Wahai! Di mana gerangan gadis berkerudung hijau yang mengajariku alif demi alif? Kemarin kulihat Iblis tersuruk-suruk menangkap siluet tubuhnya Andai bedug tak bolong, tak   aku menggelombang rindu alifnya Bangkalan, 04 Juli 2015 diantologikan oleh penerbit Rumah Kita gambar ilustrasi soelangelage.bs.com

Koyak Moyak Hukum Hindia; Hak yang Dikapir

Gambar
  Judul                : Anak Semua Bangsa Penulis              : Pramodya Ananta Tour Penerbit            : Lentera Dipantara Tahun terbit      : Cetakan 13, September 2011 Tebal buku       : 539 + xi Harga buku      : Rp 90.000,00 “Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat, dan waktu kelahiran, orang tua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.” Di saat seluruh dunia memuji-muji kekuasaan kolonial, maka yang tak kolonial akan dianggap tak memiliki hak hidup. Begitulah zaman modern. Yang tak memiliki ilmu pengetahuan; tak baru dianggap tertinggal dan kolot maka hanya akan jadi bahan penindasan dan perampasan. Melanjutkan kisah terpotong dari Bumi Manusia yang merupakan periode penyemaian dan kegelisahan, Anak Semua Bangsa adalah novel ke dua dari ke empat novel dalam tetralogi karangan Pramodya Ananta Tour. Berisikan beberapa observasi turun l

Geloramu

Ketika aku menahan geloramu ini sampai pada Entah. Ra, kekambuhan itu ada jika aku terhunjam bertubi-tubi oleh prasangka yang tidak jelas maunya. Aku merasakan deguban serasa itu adalah darimu. Bagaimana cara mendengarkannya. Coba kita diamkan hasrat menyapa. Biarlah telepati cara memadu rindu. Kapan kau juga serasa. Kau harus percaya Ra, aku tak pernah berniat membuatmu merintih kesakitan dada. Atau lemas semua saraf pada otakmu berpendar lalu putus persatu. Pada aku menangis mengadu yang mencipta. Anugrah itu datang begitu saja. Memrotes padanya ataukah memrotes pada diriku. Mengacak-acak semua itu pada kebimbangan-kebimbangan. Hanya tidak menghilangkan geloramu. Lalu jika dia mencemburuiku, yang cemburu padamu. Apa kau menjadi bahagia? Bangkalan, 01 09 2015

Membaca Murjangkung

Gambar
Judul                : murjangkung (cinta yang dungu dan hantu-hantu) Penulis              : A.S Laksana Penerbit            : GagasMedia Tahun terbit      : 2013 Tebal buku       : 214 + vii Harga buku      : Rp 50.000,00 Mereka datang 213 tahun sebelum negeri mereka menemukan kakus. Mula-mula mereka singgah untuk mengisi air minum dan membeli arak dari kampung Pecinan di tepi barat sungai; lima tahun kemudian mereka kembali merapatkan kapal mereka ke pantai dan menetap di sana seterusnya. Tuan Murjangkung, raksasa berkulit bayi yang memimpin pendaratan, membeli dari Sang Pangeran tanah enam ribu meter persegi di tepi timur sungai. Di sana ia mendirikan rumah gedong dan memagar tanahnya dengan dinding putih tebal dan menghiasi dinding pagarnya dengan pucuk-pucuk meriam.‒”Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut.” A.S Laksana selalu dapat menyihir pembacanya dengan cerita-cerita menarik yang ia ciptakan. “Murjangkung” ini salah satu