Aku Bukan Penulis!!!!!


Pengalaman pertama ikut lomba cipta cerpen? GOKIL karena nekad bangets. Ilmu yang aku pelajari di sekolah adalah ilmu eksak dan aku tidak mengenal dunia tulis menulis (kecuali nulis-nulis tugas sekolah, ketik-ketik sms, status fb. Hehehe ) Awal pengen ikutan lomba? Nggak tahu dari mana datangnya.  Okelah, aku pikir apa salahnya mencoba. Lagian aku sudah tercebur di PBSI. Dulu, aku juga suka mengarang. (Mengarang bebas jawaban ujian, maksudnya) Nah, yang aku inget pas hari H.  Waduh, kelimpungan, alias mati kutu pas tahu waktu membuat cerpen cuma 45 menit dan tema ditentukan di tempat. Mikir judul aja 20 menit. Lah, gimana yang lainnya; outline, kalimat utama, kalimat penjelas, penokohan, belum lagi kepaduan paragrafnya. Ditambah  suara keyboard peserta lain yang bikin nafas ikut tertahan dalam bunyi tak-tik-tak-tik. Cepet banget mirip lomba lari 100 m. Bedanya yang ini larinya pake jari dan ide-ide. Tumpuannya keyboard komputer bukan jalan aspal. Agghhh pengen rasanya teriak dan mengaku “Aku bukan penulis!!!!!” Inilah akibat jika pemuda-pemudi  yang minim minat bacanya (seperti aku ini. *pasang penutup wajah) kata temenku sesudahnya. Dan apa yang terjadi? This is it, inilah hasil dari power of kepepet.  

Nama: Anggun Putri A. M
`No. HP:  -
e-mail: -
Tema: Kesatuan dalam keragaman bahasa dan budaya
Indonesia Seutuhnya
Di sebuah kursi panjang di dalam kantin Bu Tin, Dadang dan Doni tidak henti membahas pembicaraan di kelas tentang tes masuk PTN. Mereka sangat menginginkan masuk Perguruan Tinggi dengan jalur beasiswa. Sehingga, akhir-akhir ini obrolan siswa kelas XII pasti seputar pendaftaran masuk Perguruan Tinggi.
“Dang, temen-temen di kelas tiap hari meributkan ujian masuk Perguruan Tinggi. Aku terbawa bingung dengan mereka.”
“Loch, kenapa harus bingung Don? Nggak usah bingung! Bukannya kamu ingin menjadi insinyur pertanian?” Dadang meyakinkan Doni.
“Aku bingung saja dengan tingkah mereka. Tiap hari yang diomongin itu melulu tapi tak pernah mereka berusaha belajar mengerjakan soal-soal.”
“Nggak semua begitu kok Don. Jangan-jangan kamu juga terbawa omongan Raka and the gank
“Tapi bukannya mereka benar? Buat apa kita belajar Bahasa Indonesia? Toh, tiap hari kita sudah mempraktekkannya.” 
Dadang yang bercita-cita menjadi seorang sastrawan tidak terima dengan pernyataan Raka dan teman-temannya. Apalagi Doni sahabatnya ikut-ikutan menyetujui pernyataan tersebut.

“Dan, coba kau pikir! Aku rasa anak-anak Indonesia ini tidak cinta pada bangsanya”. Dadang berbicara serius sambil mencomot tahu goreng di atas meja.
“Ah, gara-gara aku bicara begitu kamu kok jadi sok patriotis Dang!” Doni mencibir Dadang dengan niat menggoda.
“Lhoh kamu kok jadi sama-sama terserang virusnya Raka and the geng,sih!”
“Bukan begitu Dang. Aku punya cara sendiri buat mencintai negeriku.
“Cara apa itu?” Tanya Dadang.
“Jadi insyinyur pertanian lah! Hahaha. Ku lihat dari buku catatan BKmu kemarin, kau ingin mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kok bisa Dang?”  
“Kenapa tidak? Aku sejak dulu suka dengan pelajaran yang diberikan Pak Zaki, guru Bahasa Indonesia kita. Bahasa dan sastra yang kita miliki ini aset besar bagi bangsa Don. Harus dijaga dan dimasukkan benar-benar dalam jiwa Indonesia. Siapa yang membawa kehormatan sekaligus identitas negeri ini nantinya, kalau bukan generasi bangsa.”
“Wah, wah, wah. Tekad menyatukan  negeri adalah menjaga budaya bangsa. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Dan bangsa yang besar menurunkan sifatnya pada generasinya. Di mana Indonesia seutuhnya? Di dalam  jiwa anak-anak bangsa. Bukan orang asing. Dan bukan membanggakan hasil budaya orang asing dari miliknya sendiri” Pak Zaki yang mendengar perbincangan kedua muridnya ikut menyambung pembicaraan.
“Benar apa yang dikatakan Bapak.” Hampir berbarengan.

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masyarakat Tangguh di Tengah Pandemi

Jangan Takut Berpolitik, Politik itu Asyik

JOKO PINURBO