Menjejakkan Kaki di Kota Pak Presiden
05, 05, 2015
Perkenalkan, ini tentang
persahabatan yang luar biasa. Melangkahkan kaki dengan seribu tanya. Namun
siapapun ia terus memacu titik lebur keraguan. Hampir-hampir sudah selama tiga
hari aku di sini. Ajaibnya, waktu menyitakan fokus hati. Mereka luar biasa.
Siapa tak menyangka dengan berbalut
keanggunan, mereka tiba dari seluruh penjuru kota. Membuat jiwa terus belajar
kepada siapa saja dan di mana saja. Karena perjalanan ditempuh lengkap dengan
kisah berbagai perjuangannya.
Perkenalanku dengan "dia" mahasiswi Sumbawa |
Luas ukuran kamar empat kali luas
kamar kosku di Madura. Sejak tiba aku sudah tertarik dengan berbagai lukisan
yang dipajang di dinding kamar bagian luar. Begitu juga suara gamelan bertalu-talu
di tengah-tengah pendopo. “Apa nama tempat ini?” Tiap malam gamelan selalu
dimainkan. “TBJT” Kata seorang mahasiswi asal Wonogiri. Alias Taman Budaya Jawa
Tengah. Saya dan teman-teman yang datang dari berbagai daerah; di situlah kami
menginap. Jika ke rumah Pak Presiden, 30 menit sudah cukup untuk sampai di
halaman rumahnya.
Dengan keragaman bahasa yang kami
miliki dan sedikit bekal makanan khas yang sengaja dibawa sewaktu perjalanan ke
Solo. Lalu mencairlah suasana. Awalnya membicarakan kuliner daerah
masing-masing karena terinspirasi dari apa yang ada di depan mata. Lalu
menjurus ke hal-hal yang lebih berat yaitu tentang amanah. Dan obrolan kami
mulai terasa hangat. Rabiah namanya, teman sekamarku ini menyita fokus kami.
Cerita perjalanannya dimulai dari menyebrang pulau Lombok sampai ia tiba di
kota Pak Presiden. Begitu bangga menceritakan keadaan kotanya dan kehidupan
masyarakat di sana. “Sabalong samalewa” Hidup harus berimbang, mahasiswi Universitas
Samawak ini bangga bertutur dengan bahasanya. Rupanya ini prinsip hidup yang
dipegang lingkungannya di Sumbawa.
Kisah Embun Pagi
Sebelum acara talkshow Palestina dimulai, ada
seorang mahasiswa yang membuatku terkesan dengan sejarah. Seingatku sejarah
yang pernah kupelajari di sekolah dulu selalu menceritakan zaman batu (#ups mungkin
saat materi yang lain aku sedang bolos). Namun kenyataannya sejarah itu tidak
melulu terpaku pada zaman batu. Rupanya hari itu ada embun pagi yang ingin
berkisah padaku tentang sejarah. Sejarah yang ia pelajari meluas sampai ke ilmu-ilmu
sejarah Eropa, Amerika, Timur Tengah, sejarah Nasional hingga sejarah lokal. Diceritakanlah
kerajaan Mataram tentang konflik hingga muncul istilah kesunanan, kasultanan,
mangkunegaran. Aku sudah tak ingat secara detail, sedetail ia kalau bercerita
sejarah lokal itu.
Juga, di sana mahasiswa harus banyak-banyak
melakukan diskusi untuk mencari penguatan pemahaman. Tak hanya di dalam kelas
kalau perlu juga di luar kelas. Apalagi kudengar dosen-dosen di sana ada saja
yang Islamnya Islam liberal, sekuler, bahkan berpendapat bahwa sholat itu
sebuah kenyamanan bukan kewajiban. Dosen pun juga perlu dicari kebenarannya
bukan…apalagi yang hanya mengambil latar belakang Islam sebagai obyek
penelitian saja.
Aku mulai mendapat jawaban
atas pertanyaan yang sudah lama
kupinggirkan.
Siapa yang mengakui
NKRI mendapat kemerdekaannya.
Pengakuan de vacto.
Tanpa dua Negara ini
tak ada kata merdeka.
Tentang hutang budi
kita.
Tentang sikap acuh kita
atas masalah yang kini menimpanya.
Dan hal yang pasti terjadi........................................................
Perpisahan,
yah perpisahan… di sinilah kami mulai merasa sedih.
Komentar
Posting Komentar