Masih Anak-anak
Ra,
pagi yang buta aku masih tak bisa hilang dari peluk malam. Sampai sejauh ini
untuk beranjak dewasa keimanan ini masih saja untuk diriku sendiri. Bergaul
akrab dengan pikiran sendiri dan terlalu malu mengakrabi dengan yang lain. Kuperkenalkan
kau dengan seorang. Lihatlah Ra. Bila sekali temu, kecantikannya meruntuhkan
logika kaummu. Ketika itu diambilnya satu diantara tumpukan buku paling berat. Dia
seorang yang baik dan supel. Tangannya yang halus mungil membuka satu persatu
halaman. Tetap saja yang menarik baginya adalah gadget yang belum sempurna
dicash di atas meja. Begitu lama bercengkrama dengan sahabat maya, belum juga
tuntas sampai Maghrib tiba. “Ayo kita nonton!” 40.000 itu hal yang tak jadi
pikiran. Buang saja uang segitu. Ra dibandingkan dengan buku yang dielusnya
tadi tak ada niatku untuk membandingkan. Terserah manusia memilih. Tapi Ra, asal jangan terlena
dengan kenyamanan yang dibuatkan dunia. Seorang intelligen sudah dibekali cara
berfilsafat. Bahkan kau sudah pelajari, jika aku salah minimal kau tahu. Lalu aku
dibawa sahabatku yang pemalu itu kini bersembunyi dalam pikirku. Katanya
sedasar-dasarnya manusia juga turut berpikir apa yang disekelilingnya. Berbagai
perkara yang akan disaring menjadi kebiasaannya. Lihat Ra, wajah-wajah cantik
mereka ternyata masih unyu-unyu. Seunyu tingkahnya pula. Berkat delapan butir
telur, entah siapa yang beli dan siapa pula yang menikmati, dua gadis kecil
masih terus bermain-main. Malah semakin ramai dengan bertambahnya dua teman
lagi. Seorang ibu angkat dan bapak angkat datang. Mencegah agar mereka berhenti bermain-main.
“Ini sudah Maghrib” Katanya. Lalu beranjaklah gadis-gadis itu ke kamarnya. Dan
keesokannya mengunci mulut tak saling sapa.
Komentar
Posting Komentar